Pengertian Qira’at
Secara etimologis qira’at (قراآت) bentuk jama’ dari qira’ah (قراءة) adalah mashdar dari qara-a-yaqra-u-qirâatan berarti dham al- hurûf wa al-kalimât ba’dhihâ ila ba’dhin fi at-tartil (menggabungkan huruf dan kalimat satu sama lain dalam bacaan). Dalam bahasa Indonesia qirâah berarti bacaan atau membaca.
Secara terminologis yang dimaksud dengan qirâah adalah cara membaca Al-Qur’an oleh seorang imam ahli qirâah berbeda dengan cara membaca imam yang lainnya. Az-Zarqâni mendefinisikan qirâah sebagai berikut:
مذهب يذهب إليه إمام من أئمة القراء، مخالفا به غيره في النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه، سواء أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئاتها 10]
Artinya:
“Suatu cara membaca Al-Qur’an al-Karim dari seorang Imam ahli qirâah yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwayatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun bentuknya.”
Ash-Shabuni menambahkan dalam defenisinya tentang qira’ah dengan menyebutkan bahwa cara baca Al-Qur’an itu harus mempunyai sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.
مذهب من مذاهب النطق في القرآن يذهب به إمام من الأئمة القراء مذهبا يخالف غيره وهي ثابتة بأسانيدها إلى رسول الله -صلى الله عليه وسلم
Artinya:
“Cara membaca Al-Qur’an Al-Karim dari seorang Imam ahli qirâah yang berbeda dengan cara membaca imam lainnya berdasarkan sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.”
Tampak dari dua definisi di atas bahwa pengertian qirâah di sini tidak sama dengan pengertian qirâah dalam percakapan sehari hari yang sepadan dengan tilawah yaitu hanya sekadar dalam pengertian membaca atau bacaan. Atau qirâah dalam pengertian membaca Al Qur’an dengan irama atau lagu tertentu. Ilmu qirâah dalam pengertian sehari-hari berarti bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan benar, baik makhraj huruf maupun tajwîdnya, kemudian mempelajari juga lagu atau irama membacanya. Tetapi qirâah dalam pembahasan Ulumul Qur’an ini adalah satu cara membaca Al- Qur’an (mazhab) yang dipilih oleh seorang imam ahli qirâah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian terdapat perbedaan cara membaca Al-Qur’an antara satu imam dengan imam lainnya seperti qirâah Imam Nâfi’ berbeda dengan qirâah Imam ‘ashim atau Hamzah atau imam-imam lainnya. Tetapi perbedaan itu tentu bukan perbedaan total dalam membaca seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi hanya perbedaan dalam membaca ayat-ayat tertentu saja. Semua perbedaan itu bukanlah hasil karya atau inisiatif imam yang bersangkutan, tetapi semuanya berasal dari bacaan Rasulullah SAW dan tidak bertentangan dengan mushaf ‘Usmani dan kaedah-kaedah bahasa Arab.
Karena berdasarkan riwayat, maka nanti qira’ah juga dibagi berdasarkan periwayatannya kepada qirâah mutawatirah, masyhurah, ahad, syadzah, dha’îfah bahkan maudhu’ah atau palsu. Ditinjau dari segi qari’nya, qirâah dapat dibagi kepada qira’ah sab’ah, qira’ah ‘asyarah dan qirâah arba’ata ‘asyara. Para ulama yang mengkaji dan mendalami qirâah juga sudah menentukan syarat-syarat sebuah qira’ah dapat diterima. Semuanya akan dijelaskan dalam bagian- bagian selanjutnya.
Perbedaan Al-Qur’an Dan Qira’at
Para ulama berbeda pendapat tentang pembatasan definisi qira’at dan al- Qur’an. Beberapa pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut:
- Al-Zarkashi dan al-Qustalani berpendapat, al-Qur’an dan qira’at merupakan dua substansi yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu (dari Allah SWT) yang diturunkan (kepada nabi Muhammad saw.) sebagai mu’jizat dan penjelasan. Sedangkan qira’at adalah perbedaan lafadh-lafadh wahyu tersebut, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tashdid dan lain-lain.
- Mayoritas ulama dan pakar qira’at berpendapat, bahwa apabila qira’at tersebut diriwayatkan dengan sanad yang sahih, sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab, dan sesuai dengan rasm (pola penulisan) mushaf, maka dapat dikatakan qira’at itu tergolong al-Qur’an. Namun bila tanpa ketiga syarat itu, maka ia dianggap qira’at biasa.
- lbn Daqiq al-‘ld menyatakan bahwa semua qira’at tergolong al-Qur’an, termasuk pula qira’at shadzah. Muhammad Salim Mahisin juga berpendapat bahwa qira’at merupakan bagian dari al-Qur’an, aspek qira’at tidak dapat dilepaskan dari al-Qur’an karena ia merupakan bagian tak terpisahkan. Keduanya merupakan hakikat dengan makna tunggal, dan kata al-Qur’an merupakan bentuk masdar dari kata al-qira’ah.
Sejarah Qira’ah
Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS. Jibril lah yang membacakan ayat- ayat Al-Qur’an kepada Nabi, dan beliau mengikuti bacaan Jibril itu. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan ( membuatmu pandai) membaca. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya akan tanggungan Kami-lah penjelasannya” ( QS. Al-Qiyamah 75:16-19)
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah SWT menganugerahkan kepada Nabi sebuah keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal dan memahami Al-Qur`an. Dalam ayat di atas dinyatakan: “Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.”
Jaminan itu perlu diberikan oleh Allah SWT mengingat Nabi adalah sumber rujukan para sahabat. Nabi lah yang kemudian membacakan ayat-ayat Al-Qur`an yang diturunkan kepada para sahabat baik secara langsung untuk maksud tersebut atau secara tidak langsung dengan mengulang-ulang membacanya waktu shalat.
Menurut adz-Dzahabi dalam Thabaqât al-Qurâ’, sebagai dikutip as-Suyûthi, para sahabat yang terkenal sebagai pembaca Al-Qur’an (Qurra’) ada tujuh orang yaitu, ‘Utsmân ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib, Ubayya ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsâbit, ‘Abdullah ibn Mas’ud Abu ad-Dardâ’ dan Abu Mûsa al-Asy’ari. Dari merekalah para sahabat lain dan juga tabi’in mengambil cara membaca Al-Qur’an. Sejumlah sahabat mengambil cara membaca Al-Qur’an dari Ubayya ibn Ka’ab, mereka antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn ‘Abbâs dan ‘Abdullah ibn as-Sâib. Di samping dari Ubayya, Ibnu Abbâs juga mengambil qirâah Al-Qur’an dari Zaid ibn Tsabit.
Dari para sahabat itulah para tabi’in di berbagai wilayah mengambil qira’ah Al-Qur’an. Para qurâ’ dari kalangan tabi’in itu antara lain:
- Di Madinah: Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Sâlim, ‘Umar ibn Abd al-‘Azîz, Sulaimân ibn Yasâr dan ‘Atha’ ibn Yasâr, Mu’az ibn al-Hârits, ‘Abdurrahmân ibn Harmûz al- A’raj, Ibn Syihâb az- Zhuhri, Muslim ibn Jundab dan Zaid ibn Aslam.
- Di Makkah: ‘Ubaid ibn ‘Umair, ‘Athâ’ ibn Abi Rabâh, Thaws, Mujâhid, ‘Ikrimah dan Ibn Abi Malîkah.
- Di Kufah: ‘Alqamah, al-Aswad, Masrûq, ‘Ubaidah, ‘Amru ibn Syurahbil, al-Hârits ibn Qais,ar-Rabî’ ibn Khutsaim, ‘Amru ibn Maimûn, Abu ‘Abdirrahmân as-Sulami, ‘Ubaid ibn Nudhailah, Sa’id ibn Jubair, an-Nakh’i dan asy-Sya’bi.
- Di Bashrah: Abu ‘aliyah, Abu Raja’, Nashr ibn ‘Âshim, Yahya ibn Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirîn dan Qatâdah.
- Di Syam: al-Mughirah ibn Abi Syihâb al-Makhzumi dan Khalifah ibn Sa’ad.
Masih pada abad pertama hijriyah, di kalangan tabi’in, muncullah beberapa ulama yang mempelajari dan mendalami secara khusus qiraah ini dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu sendiri. Mereka menjadi imam dan ahli qira’ah yang dipercaya dan diikuti. Mereka antara lain adalah:
1) Di Madinah: Abu Ja’far Yazid ibn al-Qa’qa’, Syaibah ibn Nashah, dan Nafi’ ibn Abdirrahman.
2) Di Makkah: Abdullah ibn Katsir dan Humaid ibn Qais al-A’raj dan Muhammad ibn Muhaishan.
3) Di Kufah: Yahya ibn Watsab, ‘ashim ibn Abi an-Nujûd, Sulaiman al- A’masyi, Hamzah dan al-Kasai.
4) Di Bashrah: ‘Abdullah ibn Abi Ishaq, ‘Isa ibn ‘Amru, Abu ‘Amru ibn al-‘Ala’, ‘ashim al-Jahdari, dan Ya’qub al-Hadhrami.
5) Di Syam: ‘Abdullah ibn ‘amir, ‘Athiyah ibn Qais al-Kilabi, Isma’il ibn ‘Abdillah ibn al-Muhajir, Yahya ibn al-Harits adz- Dzimari, dan Syarîh ibn Yazid al-Hadhrami.
Dan Jibril membacakan Al-Qur’an kepada Nabi tidak hanya dalam satu logat atau lahjah yaitu logat Quraisy, tetapi juga dalam beberapa lahjah, sebagaimana yang terlihat dalam kisah perbedaan bacaan antara Umar ibn Khathâb dan Hisyâm ibn Hakim
Diriwayatkan bahwa ‘Umar ibn Khathâb berkata: Aku mendengar Hisyâm ibn Hâkim membaca Surat Al-Furqan di masa hidup Rasulullah SAW. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik sorbannya dan bertanya: “Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surat itu kepadamu?” Ia menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau. Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).”
Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca Surat Al-Furqân dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan Surat Al-Furqân kepadaku.
Maka Rasulullah berkata: “Lepaskanlah dia wahai ‘Umar. Bacalah Surat tadi, wahai Hisyâm.” Hisyâm pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah: “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah wahai ‘Umar.” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah SAW: “Begitulah surat itu diturunkan.” Dan katanya lagi: “Sesungguhnya Qur ’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya” (H.R. Bukhâri dan Muslim teksnya dari Bukhari)