Perkawinan yang diharamkan dalam Islam

Telah dijelaskan bahwa rukun dan syarat perkawinan harus dipenuh, apabila salah satu diantara rukun-rukun tidak di terpenuhi maka perkawinan itu dinyatakan tidak sah, bila yang tidak terpenuhin itu adalah salah satu syarat yang terdapat pada rukun itu, maka perkawinan itu termasuk kedalam perkawinan yang fasid dan dengan sediri hukumnya haram atau terlarang. Tentang kesahan perkawinan terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Terdapat pula bebeapa perkawinan yang dilarang, diantaranya

Nikah Mut’ah

Pengertian

Kata Mut’ah adalah term dari kata bahasa arab yang berasal dari kata ma-ta-‘a yang seacara etimologi mengandung beberapa arti yaitu kesenangan, alat perlengkapan, pemberian.

Nikah Mut’ah dalam istilah hukum bisa disebut “perkawinan unrtuk masa tertentu” dalam perkawinan yaitu seorang laki-laki mengawini seorang perempuan untuk waktu tertentu, misalnya sebulan, atau dua bulan, sehari atau dua hari setelah itu ditinggalkan setelah ia dapat melampiaskan nafsunya.[1]

Nikah Mut’ah saat ini masih dijalankn oleh umat Syiah Imamiyah yang tersebar di Iran dan sebagian Iraq. Ikah Mut’ah juga disebut dengan nkah Munqati’. Sedangkan perkawinan biasa yang tidak disebutkan batas masanya disebut       nikah Daim.

Berdasarkan rukun nikah tidak ada yang dilanggar dalam nikah Mut’ah, namun dari segi persyaratanya ada yang tidak terpenuhi, yaitu masa tertentu bagi umur perkawinan, sedangkan tidak adanya batas masa perkawinan merupakan salah satu dari syarat akad. Perbedaanya lainya adalah tidak ada batas wanita yang dinikahi dalam nikah Mut’ah, sedangkan dalam perkawinan biasa dibatasi hanya empat dengan syarat dapat berlaku adil.

Hukum nikah Mut’ah

Nikah Mut’ah pernah terjadi dan di syariatkan dikalangan umat

Islam dan mempunyai landasan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 24

Artinya: “…Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;…”(QS. Surat An-nisa (4) : 24) [2]

Zahir ayat tersebut menjelaskan Mut’ah yang dilakukan dan imbalanya dalam berbentuk mahar yang menjadi dasar adanya syari’at Mut’ah. Dasar hukum dalam sunnah Nabi diantaranya sebagaimana terdapat dalam Hadis dari Salamah bin Al-Akwa’ yang diriwayatkan Muslim yang mengatakan:

“Dari Salamah bin Akwa’, ia berkata, Rasulullah pernah memberikan keringanan pada tahun authas untuk melakukan Mut’ah selama 3 hari, kemudian Nabi melarangnya” (HR. Riwayat Muslim)

Terdapat pula sebuah hadist dari Ali yang bunyinya