Dalam hukum Islam, perkawinan merupakan institusi yang penting dan memiliki aturan-aturan yang jelas. Salah satu syarat sahnya perkawinan adalah terpenuhinya rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Apabila salah satu rukun atau syarat tidak dipenuhi, perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi adalah syarat yang ada dalam rukun tersebut, maka perkawinan tersebut termasuk dalam kategori fasid, yang hukumnya haram atau terlarang.
Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai kesahan perkawinan, terutama berkaitan dengan beberapa jenis perkawinan yang dilarang. Beberapa bentuk perkawinan yang terlarang dalam Islam antara lain adalah Nikah Mut’ah, Nikah Tahlil, dan Nikah Syighar. Artikel ini akan membahas ketiga jenis perkawinan tersebut secara mendalam.
Nikah Mut’ah: Perkawinan yang Dibatasi Waktu
Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah berasal dari bahasa Arab yang etimologinya mengandung arti kesenangan atau pemberian. Dalam konteks perkawinan, Nikah Mut’ah merujuk pada perkawinan yang dilakukan dengan batas waktu tertentu, misalnya untuk sebulan, dua bulan, atau bahkan hanya beberapa hari. Setelah masa tersebut berakhir, perkawinan ini dianggap selesai dan pihak suami bisa meninggalkan istrinya.
Nikah Mut’ah dijalankan oleh sebagian umat Syiah, terutama di Iran dan Irak, meskipun bentuk perkawinan ini kontroversial dan tidak diterima secara luas oleh umat Islam lainnya. Perbedaan mendasar antara Nikah Mut’ah dan perkawinan biasa adalah adanya batas waktu yang jelas dalam Nikah Mut’ah, sementara perkawinan biasa tidak memiliki batasan waktu dan harus dilaksanakan secara permanen, kecuali dengan talak.
Hukum Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah pada awalnya memang pernah disyariatkan oleh Rasulullah SAW dalam konteks tertentu, seperti pada masa perang, yang memungkinkan umat Islam untuk menikah dengan wanita secara temporer. Hal ini tercatat dalam beberapa hadits dan ayat Al-Qur’an, seperti yang terdapat dalam Surat An-Nisa ayat 24:
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa: 24)
Namun, perbedaan pendapat muncul antara ulama Ahlus Sunnah dan Syiah Imamiyah. Ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa kebolehan Nikah Mut’ah telah dicabut oleh Rasulullah SAW setelah periode tertentu, dengan alasan bahwa praktik ini bisa menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Sebaliknya, Syiah Imamiyah berpendapat bahwa hukum Nikah Mut’ah tidak pernah dibatalkan dan masih sah hingga sekarang.
Nikah Tahlil: Menghalalkan Kembali yang Haram
Pengertian Nikah Tahlil
Nikah Tahlil adalah perkawinan yang dilakukan dengan tujuan menghalalkan kembali seorang wanita yang telah diceraikan oleh suaminya sebanyak tiga kali. Dalam Islam, seorang wanita yang telah diceraikan sebanyak tiga kali oleh suaminya tidak bisa menikah lagi dengan suami pertama kecuali setelah menikah dengan pria lain dan setelah menyelesaikan masa iddah-nya. Dalam hal ini, suami kedua yang menikahi wanita tersebut sering kali disebut sebagai “muhallil,” yang artinya orang yang menghalalkan.
Hukum Nikah Tahlil
Nikah Tahlil merupakan praktik yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Rasulullah mengutuk orang yang melakukan Nikah Tahlil, baik itu pria yang mengawini wanita tersebut (muhallil) maupun suami pertama yang berusaha untuk kembali menikah dengan wanita tersebut setelah suami kedua menceraikannya. Hal ini tercatat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:
“Rasulullah SAW melaknat muhallil dan orang yang dihalalkannya.” (HR. Ahmad, An-Nasai, Tirmidzi)
Karena niat dari perkawinan ini bukan untuk membangun keluarga yang sah, melainkan semata-mata untuk menghalalkan kembali hubungan yang semula haram, maka ulama sepakat bahwa Nikah Tahlil adalah haram dan tidak sah.
Nikah Syighar: Perkawinan Tanpa Mahar
Pengertian Nikah Syighar
Nikah Syighar adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan syarat tertentu, di mana seorang pria menikahkan anak perempuannya kepada pria lain dengan imbalan bahwa pria yang menikahi anak perempuannya akan menikahkan anak perempuannya dengan pria pertama, tanpa adanya mahar. Mahar merupakan salah satu syarat utama dalam perkawinan Islam, dan absennya mahar dalam Nikah Syighar menjadikannya tidak sah menurut hukum Islam.
Hukum Nikah Syighar
Nikah Syighar adalah perkawinan yang diharamkan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nafi’ bin Ibnu Umar, Rasulullah melarang praktek ini:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Nikah syighar itu adalah seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalannya ia harus dikawinkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tanpa mahar.” (HR. Bukhari)
Ulama sepakat bahwa Nikah Syighar adalah haram karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perkawinan dalam Islam, yaitu adanya mahar. Jika mahar tidak ada, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai hak dan kewajiban suami-istri.
Kesimpulan
Nikah Mut’ah, Nikah Tahlil, dan Nikah Syighar adalah contoh bentuk perkawinan yang dilarang dalam Islam karena berbagai alasan hukum dan moral. Meskipun dalam beberapa kasus praktek-praktek ini pernah dibolehkan, seiring berjalannya waktu, praktik tersebut ditinggalkan dan dianggap haram oleh sebagian besar ulama, terutama dalam konteks masyarakat modern.
Penting bagi umat Islam untuk memahami dan mengikuti prinsip-prinsip perkawinan yang sah menurut syariat Islam, yang tidak hanya mengedepankan aspek legalitas, tetapi juga moralitas dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Setiap umat Islam dianjurkan untuk menjalankan perkawinan dengan niat yang tulus, mengutamakan mahar sebagai bagian dari hak-hak suami istri, serta menjaga kehormatan dan kesejahteraan keluarga sebagai fondasi utama dalam membangun masyarakat yang sehat dan harmonis.
Referensi: