Sejak kembalinya kafilah putra-putranya dari Mesir tanpa Benyamin dan Yahuda, maka duka nestapa dan kesedihan Ya’qub makin mendalam dan menyayat hati. Ia hanya terasa terhibur bila ia sedang menghadap kepada Allah, shalat, bersujud seraya memohon kepada Allah agar memberi kesabaran dan keteguhan iman menghadapi ujian dan percubaan yang sedang ia alami. Fisik Nabi Ya’qub makin hari makin menjadi lemah, tubuhnya makin kurus hingga tinggal kulit melekat pada tulang, ditambah pula dengan kebutaan matanya.
Ya’qub berkata kepada anak-anaknya: Bila kamu benar-benar sayang kepadaku dan ingin melegakan hatiku, pergilah kamu merantau mencari jejak Yusuf dan berusahalah sampai menemuinya dan setidak-tidaknya mendapat keterangan di mana ia berada sekarang dan jangan sesekali berputus asa karena hanya orang-orang kafirlah yang berputus asa dari rahmat Allah”. Anjuran Ya’qub diterima, setidak-tidaknya ia sekadar membesarkan hati si ayah. Dan sekali pun mereka merasa tidak mungkin mendapat Yusuf dalam keadaan hidup, namun bila mereka berhasil membujuk penguasa Mesir mengembalikan Benyamin, maka hal itu sudah cukup merupakan penghibur bagi ayah mereka.
Tibalah kafilah putra-putra Ya’qub di Mesir untuk ketiga kalinya dan dalam pertemuan mereka dengan Yusuf, wakil raja Mesir yang berkuasa, berkatalah juru bicara mereka: “Wahai Paduka Tuan! Keadaan hidup yang sukar dan melarat di negeri kami yang disebabkan oleh krisis bahan makanan yang belum teratasi memaksa kami datang kembali untuk ketiga kalinya mengharapkan bantuan dan murah hati paduka tuan, kedatangan kami kali ini juga untuk mengulang permohonan kami kepada paduka tuan dapatlah kiranya adik bungsu kami Benyamin dilepaskan untuk kami bawa kembali kepada ayahnya yang sudah buta kurus kering dan sakit sejak
Yusuf, kakak Benyamin hilang. Kami sangat mengharap kebijaksanaan paduka agar melepaskan permohonan kami ini, karena dengan kembalinya Benyamin dapat meringankan penderitaan batinnya serta memulihkan kembali kesehatan badannya yang hanya tinggal kulit melekat pada tulangnya.”
Kata-kata yang diucapkan oleh kakak-kakknya menimbulkan rasa haru pada diri Yusuf dan tepat mengenai sasaran di lubuk hatinya, menjadikan ia merasakan bahwa masanya telah tiba untuk mengenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya dan dengan demikian akan dapat mengakhiri penderitaan ayahnya.
Berkatalah Yusuf: “Masih ingatkah kalian apa yang telah kalian lakukan terhadap adikmu Yusuf, tatkala kamu melemparkannya ke dalam sumur? Dan masih teringatkah olehmu tatkala seorang dari kalian memegang Yusuf, menanggalkan pakaiannya lalu ditinggalkannya seorang diri di dalam sumur yang gelap dan kering itu, lalu tanpa menghiraukan ratap tangisnya, kamu kembali pulang ke rumah dengan rasa puas seakan- akan kamu telah membuang sebuah benda atau seekor binatang yang tidak patut dikasihani dan dihiraukan nasibnya?”