Menu Tutup

Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an

Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hokum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-Nya, yang tidak ada pada qira’ah mujtawatir, hal ini hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. atau hasil ijtihad mereka dengan jalan membawa nash mutlaq pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para pembahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qira’at gair mutawatir  yang periwayatannya tersendiri. Di antara para sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-Nya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud, ia mencantumkan kata mutatabi’atin pada ayat 89 surat Al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-NYa tertulis:

Dan kata dzi ar-rahmi Al-nuharrami pada ayat 233, surat  Al-Baqarah sehingga ayat itu tertulis:

Ubay Ibnu Ka’ab mencantumkan kata min Al-ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-Nya:

(Muhammad Al-Makdur, 1976 : 104).

Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak didapati dalam mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.

Dengan demikian, penambahan kata pada sebagian ayat Al-Quran seperti di atas tidak dapat dikatakan sebagai Al-Quran; dan orang yang mengingkarinya pun tidak dihukumi sebagai orang kufur. Demikian pula, kata-kata yang merupakan penambah itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk istinbath hukum, kecuali menurut golongan Hanafiyah. Hal ini berakibat pada perbedaan pendapat antara Jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah dalam beberapa masalah, yang antara lain sebagai berikut :

  1. Hanafiyah mensyaratkan puasa kifarat sumpah dilakukan terus-menerus, karena mereka berpegang kepada qira’ah Ibnu Mas’ud, sedangkan selain ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya, (Al-Ghazali, 1968 : 229)
  2. Hanafiyah melarang memotong tangan kiri pencuri yang mencuri untuk ketiga kalinya, karena yang dimaksudkan dengan pemotongan tangan pada ayat 38 surat Al-Maidah adalah tangan kanan pencuri. Pendapat mereka bersumber pada qira’ah Ibnu Mas’ud, sedangkan menurut para ulama selain Hanafiyah, pencuri yang mencuri ketiga kalinya itu harus dipotong tangan kirinya.
  3. Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban member nafkah kepada kerabat zawil Arham itu hanyalah kepada zawil arham yang muhrim, sedangkan menurut jumhur ulama, zawil arham yang wajib diberi nafkah tidak terikat dengan muhrim-nya saja, baik muhrim ataupun bukan, mereka tetap diberi nafkah. (Ali Hasaballah, 1968 :259).

Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat dibagi dalam dua bagian:

  • Nash yang qati’i dilalah-nya

Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukankan disini adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf, 1972 :35).

  • Nash yang zhanni dilalah-nya

Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonym) ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.

Para ulama, selain berbeda pendapat tentang nash Al-Qur’an mengenai penetapan yang qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda mengenai penetapan yang qath’i atau zhanni dilalah.

Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa wujud dalil syara’ yang dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yang qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yang qath’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang qathi’i masih bergantung pada premis-premis yang seluruh atau sebagainya zhannni pula. (Asy-Syatibi, 1975,1:35).

Premis-premis yang dimaksud Asy-Syatibi adalah:

  1. Proses penggunaan bahasa dan berbagai persoalan Ilmu Nahwu.
  2. Keterbatasan dari Isytirak.
  3. Keterbatasan dari majas.
  4. Proses penggunaan secara syara’ atau tradisi.
  5. Persoalan penggunaan dhamir.
  6. Adanya takhshish terhadap lafazh ’amm.
  7. Adanya taqyid  terhadap lafazh muthlaq.
  8. Keterbebasan dari nasikh.
  9. Kejelasan taqdim dan ta’khir.
  10. Ketiadaan pertentangan dengan pemikiran yang logis.

Meningat dalil syara’ yang dapat menunjukkan dilalah yang qath’i hanya terwujud dengan sepuluh premis diatas, maka menemukan dalil yang seperti itu hamper tidak mungkin. Andai kata ada, jumlahnya pun sangat sedikit. (Asy-Syatibi, 1975, 1:36). Pandangan seperti ini juga dikemukakan oleh Al-Asnawi dalam kitabnya Nihayah As-Sul. Ia menyatakan bahwa redaksi As-Sunnah Al-Mutawatirah, seperti halnya Al-Qur’an adalah qath’i, sedangkan dilalah-nya zhanni karena berkaitan dengan: Al-Ihtimalatu Al-Asyrah (Al-Asnawi, t.t : 125). Agaknya, yang dimaksud dengan Al-Ihtimatu Al-Asyrah (Al-Asnawi, t.t : 125). Agaknya, yang dimaksud dengan : Al-Ihtimatu Al-Asyrah sama dengan sepuluh premis yang  dikemukakan Asy-Syatibi.

Selanjutnya, Asy-Syatibi mengajukan suatu pandangan tentang upaya mencari qath’I dilalah, yaitu istiqra’. Menurutnya, dalil-dalil syar’I yang dapat diandalkan qath’I dilalah-nya adalah yang dihasilkan melalui proses ini disebut syabihu bi Al-mutawatiri Al-ma’nawy, karena ditunjang oleh makna berbagai nash yang menunjuk pada satu pengertian atau keputusan. (Asy-Syatibi, 1975 : 1: 36).

Konsep Asy-Syatibi tentang maqashid As-Syari’ah dirumuskannya berdasarkan metode istiqra ini, sehingga mempunyai landasan yang qath’i. oleh sebab itu, ditempat lain ia menjelaskan bahwa dalil zhanni dilalah bisa menjadi qath’i dilalah apabila maknanya sesuai dengan makna yang terkandung pada dalil yang qath’I dilalah-nya

Baca Juga: