Rabi’ah Al-Adawiyah adalah salah satu tokoh mistikus terbesar dalam sejarah Islam. Lahir di Basra, Irak sekitar tahun 717 M, ia dikenal sebagai pelopor ajaran Sufisme yang mengutamakan cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Meskipun hidup dalam ketidakpastian mengenai detail kehidupan pribadinya, kisah hidup Rabi’ah menjadi simbol pengabdian yang tulus dan penuh cinta kepada Tuhan. Rabi’ah diakui sebagai seorang wanita yang menanggalkan segala kemewahan duniawi dan memilih hidup dalam kesendirian untuk lebih dekat dengan Allah. Hal ini menjadikannya contoh spiritual yang unik, tidak hanya di kalangan wanita, tetapi juga bagi banyak pemeluk Islam pada umumnya.
Sejak masa muda, Rabi’ah sudah menunjukkan tanda-tanda kedalaman spiritual yang luar biasa. Setelah kehilangan orang tua, ia sempat dijual sebagai budak sebelum akhirnya dibebaskan. Namun, meskipun kehidupannya penuh dengan kesulitan, ia tidak pernah membiarkan kesulitan duniawi menghalangi pencariannya akan Tuhan. Dalam kehidupannya, ia lebih memilih untuk berfokus pada ibadah dan cinta ilahi daripada terlibat dalam urusan duniawi seperti pernikahan. Rabi’ah sering kali digambarkan sebagai seorang yang sangat disiplin dalam menjalani hidup sederhana, dengan tidur hanya beberapa jam di malam hari untuk memberikan waktu yang lebih banyak untuk beribadah dan merenung.
Sebagai seorang sufi, Rabi’ah juga menunjukkan sisi spiritualitas yang penuh cinta. Ia mengajarkan bahwa cinta kepada Allah adalah motivasi utama dalam beribadah. Berbeda dengan banyak ajaran lain yang menekankan ketakutan akan neraka atau harapan akan surga, Rabi’ah lebih menekankan bahwa hubungan seorang hamba dengan Allah harus berlandaskan cinta yang murni dan tulus. Ia percaya bahwa cinta ilahi adalah pendorong utama untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, dan inilah yang menjadi inti dari ajaran-ajaran sufi yang berkembang kemudian hari. Ketulusan dan keikhlasan dalam setiap amal adalah yang paling penting, bukan sekadar mengejar pahala atau takut pada hukuman.
Kehidupan Rabi’ah: Dari Kesulitan Menuju Pencerahan Spiritualitas
Kehidupan Rabi’ah diwarnai oleh banyak cobaan yang justru memperkuat keyakinannya pada Tuhan. Sejak kecil, ia telah mengalami berbagai kesulitan, termasuk kehilangan orang tua yang membuatnya menjadi yatim piatu. Setelah itu, ia dijual sebagai budak dan mengalami banyak penderitaan. Namun, meskipun hidupnya penuh dengan kesulitan fisik dan emosional, Rabi’ah tidak pernah terjerumus dalam kesedihan yang berlarut-larut. Sebaliknya, ia menggunakan pengalaman hidupnya untuk mengasah spiritualitas dan mendekatkan diri kepada Allah. Hidup dalam penderitaan justru menjadikannya lebih kuat dalam menjalani kehidupan asketis dan penuh pengabdian.
Rabi’ah menghindari segala kemewahan duniawi dan memilih untuk hidup dalam kesederhanaan. Ia tinggal dalam sebuah ruangan kecil, dengan hanya memiliki beberapa barang sederhana, seperti sebuah tikar dan wadah pecah yang digunakan untuk minum. Dalam banyak kisah tentang kehidupannya, Rabi’ah digambarkan sebagai sosok yang sangat disiplin dalam menjalankan ibadah. Ia tidur hanya beberapa jam setiap malam, dan waktu yang lainnya dihabiskan untuk berdoa dan berzikir. Rabi’ah merasa bahwa setiap detik yang terbuang tanpa beribadah adalah kerugian besar baginya, dan ia berusaha mengisi setiap saat dengan cinta dan pengabdian kepada Tuhan.
Keikhlasan Rabi’ah tercermin dalam banyak cerita tentang dirinya, salah satunya adalah kisah ketika ia menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan menuju Mekah, keledainya mati, dan ia menolak tawaran bantuan dari sesama peziarah, karena ia percaya bahwa Allah adalah satu-satunya penolong yang dapat diandalkan. Dalam beberapa versi cerita, keledai itu hidup kembali setelah doa Rabi’ah, tetapi ia tidak terkesan dengan peristiwa itu. Baginya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini hanyalah ujian dari Allah, dan yang paling penting adalah cinta kepada-Nya, bukan keajaiban atau mukjizat duniawi.
Ajaran Utama: Cinta Ilahi dan Ketidakmementingan Dunia
Salah satu ajaran utama Rabi’ah yang sangat berpengaruh dalam Sufisme adalah konsep cinta ilahi (mahabba). Bagi Rabi’ah, cinta kepada Allah adalah inti dari segala ibadah. Ia mengajarkan bahwa raja’ (harapan akan surga) dan khawf (takut akan neraka) tidak seharusnya menjadi motivasi utama dalam beribadah. Sebaliknya, hubungan seorang hamba dengan Allah haruslah berlandaskan cinta yang murni dan tulus. Rabi’ah percaya bahwa cinta ini akan membawa seorang hamba lebih dekat kepada Tuhan dan menyatukan dirinya dengan Allah dalam kesatuan spiritual yang sempurna. Baginya, segala amal yang dilakukan tanpa didasari cinta kepada Tuhan hanyalah sia-sia.
Selain itu, Rabi’ah sangat menekankan pentingnya hidup sederhana atau zuhd, yaitu menjauhi segala bentuk kemewahan duniawi dan mengutamakan kehidupan yang penuh dengan pengabdian kepada Tuhan. Sebagai seorang sufi, ia hidup dengan sangat sederhana, tidak memiliki banyak barang atau kebutuhan duniawi. Ia percaya bahwa dunia ini hanyalah tempat sementara, dan kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam kedekatan dengan Allah. Oleh karena itu, ia mengajarkan agar umat Islam tidak terjebak dalam kecintaan terhadap dunia dan segala isinya, melainkan fokus pada kehidupan spiritual yang mengarah pada Tuhan.
Dalam sebuah kisah yang terkenal, Rabi’ah dan pelayan rumahnya sedang menyiapkan makanan setelah beberapa hari berpuasa. Pelayan itu hendak pergi untuk meminjam bawang, namun Rabi’ah berkata bahwa ia telah bersumpah untuk tidak meminta apapun dari siapapun kecuali Allah. Beberapa saat kemudian, seekor burung datang dan menjatuhkan bawang yang sudah dikupas tepat di depan mereka. Meskipun ini dianggap sebagai mukjizat, Rabi’ah tidak terpengaruh. Ia malah dengan tegas menolak untuk menggunakan bawang itu, menegaskan bahwa ia tidak ingin terperangkap dalam godaan duniawi meskipun itu tampak seperti sebuah keajaiban.
Legasi Rabi’ah: Pengaruh dalam Sufisme dan Kehidupan Kontemporer
Meskipun Rabi’ah meninggal pada tahun 801 M, ajaran dan pengaruhnya tidak pernah pudar. Sebagai seorang sufi perempuan pertama yang dikenang dalam sejarah Islam, Rabi’ah menunjukkan bahwa jalan spiritualitas tidak terbatas pada jenis kelamin atau status sosial. Ia menjadi simbol bagi banyak orang, terutama wanita, bahwa hidup dengan penuh cinta kepada Allah dan pengorbanan diri adalah jalan yang benar untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Rabi’ah juga menunjukkan bahwa spiritualitas bisa dicapai dengan cara yang sangat pribadi dan mendalam, tanpa perlu bergantung pada tradisi sosial atau ritual yang ditentukan oleh masyarakat.
Pengaruh Rabi’ah dalam perkembangan Sufisme sangat besar. Ajarannya tentang cinta ilahi dan kehidupan yang mengutamakan pengabdian kepada Tuhan telah menginspirasi banyak sufi setelahnya, termasuk tokoh-tokoh besar seperti al-Ghazali dan Ibn Arabi. Dalam tradisi Sufisme, Rabi’ah sering dijadikan sebagai contoh teladan dalam pencarian cinta kepada Allah yang tanpa pamrih. Kehidupannya yang sederhana, penuh pengabdian, dan tidak terikat pada duniawi menjadi inspirasi bagi banyak orang yang ingin mengikuti jalan sufi.
Dalam dunia kontemporer, ajaran Rabi’ah tentang cinta kepada Tuhan dan hidup sederhana terus relevan. Banyak orang yang merasa terjebak dalam kehidupan duniawi yang penuh dengan ambisi materialistis dan tekanan sosial menemukan kedamaian melalui ajaran Rabi’ah. Cinta ilahi yang ia ajarkan dapat menjadi pedoman dalam mencari ketenangan batin dan kedekatan dengan Allah. Dengan demikian, legasi Rabi’ah terus memberikan inspirasi bagi umat Islam dan bahkan bagi siapa saja yang mencari kedamaian dalam kehidupan spiritual.
Sumber:
- “Al-Adawiyah, Rabi’ah.” Encyclopedia.com. Diakses pada 2 Desember 2024, dari https://www.encyclopedia.com
- “Islamic Empire: Miracle Story, Rabi’a al-‘Adawiyya.” World History Commons. Diakses pada 8 Desember 2024, dari https://worldhistorycommons.org/
- “Rābiʾah al-Adawiyah.” Encyclopedia of Religion, ed. Lindsay Jones, 2nd ed. Detroit, MI: Macmillan Reference USA, 2005.
- “First Among Sufis: The Life and Thought of Rābiʾah al-Adawiyah, the Woman Saint of Basra.” Octagon Press, 1982.
- “Women in World History: Women of Sufism: A Hidden Treasure.” Teaching Module, Women in the Islamic World, 600-1600.