Menu Tutup

Rezeki : Pengertian, Landasan Syariah, Macam-macam, dan Batasan Rezeki

Pengertian Rezeki

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata rezeki memiliki dua arti yaitu, pertama rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan) berupa makanan (sehari-hari); nafkah. Kedua, yaitu kata kiasan dari penghidupan, pendapatan, (uang dan sebagainya yang digunakan memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan mendapatkan makanan dan sebagainya[2].

Adapun defenisi lain, kata rezeki berasal dari bahasa Arab. Secara etimologi, رزق berarti pemberian[3]. Adapun menurut istilah, Al-Jurjani menyebutkan ar-rizq berarti segala sesuatu yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada makhluk-Nya untuk mereka konsumsi, baik halal atau haram[4].

Landasan Syariah

Adapun dalam pandangan Islam, rezeki bukanlah senata-mata materi, harta, dan benda saja. Apalagi, yang hanya terbatas karena hasil usaha (kerja) manusia itu sendiri. Rezeki dalam Islam melingkupi semua apa yang ada dalam kehidupan manusia. Berupa waktu, kesehatan, kesempatan, kecerdasan, istri, anak, orang tua, tetangga, teman, lingkungan, hujan, tanaman, hewan piaraan dan masih banyak sekali yang lainnya.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan di dalam Al-Qur’an yang artinya: “dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-An’am: 142)

Kemudian itulah mengapa Allah s.w.t. mengingatkan manusia bahwa nikmat (rezeki) Allah terhadap manusia sungguh tidak akan pernah bisa dihitung. Sebab, Allah s.w.t. telah menyediakan untuk umat manusia apa saja yang manusia perlukan pada segala situasi dan kondisi.

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim: 34). Allah s.w.t. memang memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya, tetapi tidak semua mendapatkan rezeki yang mulia dari-Nya. Lantas, siapa sajakah mereka itu? Allah s.w.t. menegaskan dalam Al-Qur’an: “Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS. Al-Hajj: 50) .

Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir mengutip pernyataan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi. “Apabila engkau mendengar firman Allah Ta’ala (wa rizqun karim) ‘Dan rezeki yang mulia,’ maka rezeki yang mulia itu adalah surga[5].”

Dengan demikian, maka sebaik-baik rezeki adalah surga. Jadi, dalam kehidupan dunia ini kita harus mengutamakan dua perkara penting, yakni iman dan amal sholeh. Karena hanya keduanyalah yang dapat mengantarkan setiap jiwa mendapatkan rezeki yang mulia.

Sangat tidak patut bahkan sangat tercela bila ada seorang Muslim merasa terhina hanya karena kurang harta. Apalagi kalau sampai berani mengambil keputusan tidak benar dalam hidupnya karena alasan kemiskinan. Sebab, rezeki yang paling mulia adalah surga, bukan harta atau benda. Itulah sebabnya mengapa, para Nabi dan Rasul tidak pernah berbangga dengan rezeki yang didapatkan berupa harta dan benda yang dimiliknya. Bahkan para Nabi dan Rasul itu lebih memilih hidup susah demi rezeki yang mulia di sisi-Nya. Namun demikian, Islam tidak mengharamkan umatnya kaya raya. Karena kekayaan yang disertai iman juga bisa mengantarkan seseorang pada derajat yang mulia di sisi-Nya[6].

Macam-macam Rezeki

Menurut Syaikh Abdur Razzaq bin Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr, rezeki Allah s.w.t. bagi hamba-Nya ada dua macam:

  1. Rezeki yang umum yang mencakup orang yang baik dan jelek, yang mukmin dan kafir, yang pertama dan yang terakhir, yaitu rezeki badan. Allah s.w.t. berfirman yang artinya: “dan tidak ada suatu binatang melata[7] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[8], semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud: 6).

Jika Allah memberi rezeki dan anak keturunan kepada orang kafir dan melapangkannya bukan berarti Allah ridha’ terhadapnya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya: “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar[9].”

  1. Rezeki yang khusus, yaitu rezeki hati dan siramannya berupa ilmu, iman, dan rezeki halal yang dapat memperbaiki agama seorang hamba. Dan ini khusus bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkatan mereka darinya, sesuai dengan ketentuan hikmah dan rahmat-Nya. Dan Allah menyempurnakan kemuliaan-Nya bagi mereka dan menganugerahkan kepada mereka surga yang penuh dengan kenikmatan pada hari kiamat[10]. Sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam al-Qur’an yang artinya: “(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 11)

Batasan Rezeki

Batasan rezeki dalam kehidupan manusia harus diperluas agar setiap saat kita tetap bersyukur kepada Allah s.w.t. atas nikmat yang telah Allah s.w.t. berikan tidak hanya sebatas harta kekayaan semata melaikan semua aspek yang berkitan dengan kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.

Konteks rezeki bisa bermacam-macam wujudnya, contohnya; penciptaan kita sebagai manusia makhluk yang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya, penciptaan langit dan bumi dari sanalah Allah menghampar rezeki-rezekinya untuk manusia yang mau terus berusaha, berfungsinya akal yang kita miliki dengan baik dan normal, keimanan dan keislaman adalah rezeki, sehat, hujan, kemarau, kehidupan, ilmu yang bermanfaat, saudara seiman merupakan sebagian kecil rezeki yang Allah berikan.

Jika konteks rezeki demikian luas, mengapa kita mempersempit makna rezeki itu sendiri hanya dalam batas kekayaan semata? Kita sebagai manusia kadang sangat lupa karunia yang Allah berikan kepada kita sebagai manusia, bila saja kita diciptakan sebagai hewan apakah kita akan menikmati rezeki yang Allah berikan layaknya kita sebagai manusia? Manusia adalah makhluk yang terkadang melupkan rasa syukur terhadap rezeki yang Allah berikan. Selayaknya sebagai manusia yang memiliki iman kita tetap berusahan memperoleh rezeki yang telah Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya dan terus berusaha di jalan Allah dengan cara halal dan baik[11].

Aplikasi Berlandaskan Al-Hadits

Ummat manusia telah dijadikan sebagai ummat yang lebih mulia dibanding kebanyakan makhluk-Nya. Sehingga merupakan suatu kehinaan bagi mereka bila mereka merendahkan dirinya dengan mengagungkan dan mengibadahi sesama makhluk, misalnya sapi, ular, kerbau, jin, wali, Nabi, atau senjata dan lainnya[12]. Padahal kedudukannya sama atau bahkan lebih rendah dibanding mereka, bahkan kebanyakan mereka diciptakan di dunia ini untuk kepentingan manusia[13].

 Qatadah rahimahullahu ta’ala berkata yang artinya: “Tidaklah ada suatu perangai baik yang pernah diyakini dan diamalkan kaum Jahiliyyah zaman dahulu melainkan telah Allah perintahkan. Dan tiada perangai buruk yang dahulu mereka jadikan bahan celaan kecuali telah Allah larang. Dan sesungguhnya yang Allah larang hanyalah perangai-perangai yang rendah dan tercela”.[14]

Diantara bentuk akhlak dan kepribadian mulia yang diajarkan oleh Islam kepada ummatnya adalah sifat mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain dalam setiap keperluan hidupnya. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: ”Tidaklah ada seseorang yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada makanan hasil dari pekerjaan tangannya sendiri. Dan dahulu Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri.”[15]. Dalam hadits ini, Rasulullah s.a.w. secara khusus menyebutkan bahwa Nabi Dawud a.s. makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, ini dikarenakan beliau adalah seorang Nabi yang diberi kekayaan dan kekuasaan, akan tetapi walau demikian adanya, beliau tidak mau memakan kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri[16].

Pada hadits yang lain, Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: Telah menceritakan kepada kami Mu’allaa bin Asad telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam dari bapaknya dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya”. (HR. Bukhari)

Dan juga dalam hadits lain yang berkaitan dengan hadits di atas adalah sabda Rasulullah s.a.w. yang artinya: “Tangan yang di atas lebih baik dibanding tangan yang di bawah, tangan yang di atas adalah tangan yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah tangan peminta.”[17]

Oleh karena itu, dahulu para sahabat dan ulama salaf bekerja guna mencukupi kebutuhannya sendiri atau mencari rezeki, ada yang berdagang, ada yang bercocok tanam, dan ada yang menjadi pekerja tanpa ada rasa sungkan atau gengsi.

Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, yakni yang artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata, telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Yahya -yaitu Ibnu Abu Katsir- dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika berdiri memberikan khuthbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk (Masjid). ‘Umar lalu bertanya, “Kenapa anda terlambat shalat?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak tahu hingga aku mendengar adzan, maka aku pun hanya berwudhu.” Maka “Umar berkata, “Bukankah kamu sudah mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian berangkat shalat jum’at hendaklah mandi, Sahabat ‘Umar bin Khaththab r.a. tidak mencela sahabat ini karena ia bekerja mencari rezeki, akan tetapi mencelanya karena ia terlambat hadir shalat jum’at dan melupakan kewajiban mandi sebelum menghadiri shalat jum’at [18]”.

Studi Kasus.

Fadl-ul-Ilahi dalam bukunya yang berjudul Mafaatihul Rizq fi Daw’ Al-Kitab wa Al-Sunnah, pengarang mengetengahkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjelaskan sebab dibukanya pintu-pintu rezeki. Seperti firman Allah s.w.t. dalam surah Nuh ayat 10-12, surah Hud ayat 3 dan 52. Dalil dari sunnah seperti hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a. “Barang siapa memperbanyak Istighfar maka Allah akan menjadikan setiap kesulitan jalan keluar dan setiap kesempitan akan mengantikan dengan keluasan, serta memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangkakan” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Nisa’i, dan Hakim).

Dan yang perlu di pahami adalah rezeki dan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menggantungkan rezeki semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan adalah kesalahan, sebagai mana Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi telah memperingatkan dalam bukunya “Rezeki” (Gema Insani Press, 1995), Allah maha luas rezeki-Nya.

Mengantungkan rezeki semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan sama dengan mempersempit pintu rezeki, padahal Allah membukanya lebar-lebar untuk kita. Akan tetapi mengharapkan rezeki dari Allah tanpa mau memeras keringat dengan kerja yang meletihkan, sama halnya dengan mengangap sepi nasihat Nabi s.a.w. yang artinya: “Sesungguhnya, bekerja mencari rezeki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah-ibadah fardu” (HR At-tabrabi dan Baihaqi).

Barang kali, hadits diataslah yang menginspirasi rakyat Pakistan sehingga mencantumkan makna hadits ini disetiap uang kertas mereka “Husule rizq halal ibadat hay”.

Kesulitan demi kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat dalam masalah mencari rezeki menjadikan mereka mengkambinghitamkan agama dan hal ini sangat berbahaya sekali karena pada akhirnya nanti masyarakat akan anti pada agama.

Pemahaman ini harus disampaikan kepada masyarakat luas. Tanpa itu maka jangan heran kalau orang Islam sendiri akan anti kepada Islam karena gara-gara mereka berangapan “Aturan agama menyulitkan untuk memperoleh rezeki”. Para da’i harus andil dalam hal ini, karena dakwah adalah pekerjaan mempengaruhi, sementara dalam “kacamata” masyarakat orang kaya lebih mudah berpengaruh jika dibandingkan dengan orang miskin. Maka sebagai seorang calon da’i kita harus pandai untuk mencari jalan dan solusi dalam memudahkan mereka dalam mencari rezeki. Setelah kita memenuhi kebutuhan mereka barulah mereka akan mendengar nasehat-nasehat agama yang kita sampaikan.

Praktik-praktik semacam ini adalah cara-cara yang paling berhasil yang pernah dilakukan oleh para misionaris Kristen dalam memurtadkan umat islam ditanah air.

[1] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok. Gramata Publishing. 2010. Hlm. 288

[2] Em Zul Fajri, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Difa Publishing

[3] Ibrahim Musthafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah, 1972, hlm.342.

[4] Ali ibn Muhammad al-Jurjani, at-Ta’rifat, Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1405, Al-Maktabah asy-Syamilah versi 3.47, hlm. 147.

[5] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Edisi Lisensi, 1997, hlm. 68.

[6] Asadullah Al-Faruq, Rahasia Sukses Dagang Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdurrahman bin Auf, Solo: As-Salam Publishing, 2012, hlm. 126.

[7] Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.

[8] Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim.

[9] Lihat surat at Taubah ayat 55, dan Lihat surat Ali Imran ayat 178.

[10] Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr, Fikih Asma’ul Husna, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010, hlm. 169-170.

[11] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 11.

[12] QS. Al-Baqarah: 29, QS. Luqman: 20

[13] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 12.

[14] Ibid, hlm. 13.

[15] HR. Al-Bukhari

[16] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 13.

[17] HR. Bukhari-Muslim

[18] Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Panduan Praktis Fiqih Perniagaan Islam, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, Cet. II, 2010, hlm. 13.

Baca Juga: