Menu Tutup

Sahkah Pernikahan Yang Tidak Ada Maharnya?

[otw_shortcode_dropcap label=”H” background_color_class=”otw-green-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]anya saja, para ulama kemudian berbeda pendapat, terkait sahnya pernikahan jika mahar ditiadakan dalam sebuah pernikahan. Dalam arti, apakah pernikahan yang tidak ada pemberian mahar oleh suami terhitung pernikahan yang sah atau tidak?

Dalam masalah ini, maka perlu dirinci terlebih dahulu, terkait alasan tidak ditunaikannya kewajiban mahar dalam pernikahan. Yang setidaknya dalam dua masalah. Pertama: ketiadaan mahar sebagai syarat pernikahan. Kedua: Kerelaan istri untuk tidak menerima mahar.

Ketiadaan Mahar Sebagai Syarat Pernikahan

Masalah pertama adalah bahwa ketiadaan mahar ini merupakan syarat yang diajukan oleh pihak suami untuk diteruskannya pernikahan. Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat apakah akad nikah tetap dinilai sah atau tidak?

Mazhab Pertama: Nikah tetap sah.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) berpendapat bahwa pernikahan tanpa mahar yang disyaratkan tetaplah sah. Sebab mahar bukanlah rukun nikah. Namun, suami yang tidak memberikan maharnya tetap terhitung berdosa karena mahar merupakan hak istri yang wajib ditunaikan oleh suami.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Muqni’:

Suami mensyaratkan tidak adanya mahar dan nafkah … maka syaratnya batil dan akad nikahnya tetap sah. (Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Muqni’, (Jeddah: Maktabah as-Suwadi, 1421/2000), cet. 1, hlm. 311.)

Mazhab Kedua: Nikah batal.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar termasuk rukun nikah, meskipun tidak mesti disebutkan di dalam akad. Dan atas dasar ini, pernikahan yang disyaratkan ketiadaan mahar terhitung tidak sah.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar termasuk rukun nikah, meskipun tidak mesti disebutkan di dalam akad. Dan atas dasar ini, pernikahan yang disyaratkan ketiadaan mahar terhitung tidak sah.

Imam ad-Dardir al-Maliki berkata dalam kitabnya, asy-Syarh ash-Shaghir:

Kesepakatan untuk tidak adanya mahar dapat merusak akad nikah.Ahmad bin Muhammad ash-Shawi, Hasyiah ash-Shawi ‘ala asy-Syarh ash-Shaghir: Bulghah as-Salik li Aqrab al-Masalik, (t.t: Dar al-Ma’arif, t.th), hlm. 2/428.)

Kerelaan Istri Untuk Tidak Menerima Mahar

Untuk masalah kedua, ketiadaan mahar bukanlah syarat yang diajukan pihak suami, namun kerelaan dari pihak istri untuk tidak menerima mahar. Di mana pernikahan tanpa mahar yang dilandasi kerelaan istri ini disebut dengan istilah nikah tafwidh.

Dalam kasus ini, pada dasarnya para ulama sepakat bahwa pernikahannya tetaplah sah. Namun sang suami tetap wajib menawarkan sejumlah mahar, yang kemudian istri bisa merelakannya untuk sang suami. Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an berikut ini:

dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 24)

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 4)

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi – rahimahullah berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:

Jika sang istri merelakan maharnya untuk sang suami, atau sebagiannya, atau menghibahkan kepadanya setalah ia miliki, maka hal itu boleh saja sebagaimana ia memberikan hartanya. Di mana pernikahannya tetaplah sah. Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. (Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 7/255.)

Referensi:

Isnan Ansory, Lc. M.A., Fiqih Mahar, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.

 

Baca Juga: