Menu Tutup

Sejarah Permusuhan Nabi dengan Yahudi

Seperti telah disebutkan bahwa  pada mulanya orang Yahudi  termasuk di antara orang yang menantinantikan kedatangan Nabi Muhammad s.a.w., tetapi karena Nabi berasal dari bangsa Arab, mereka menolaknya. Sewaktu Rasulullah mengadakan konstitusi Madinah mereka termasuk yang ikut serta menandatangani perjanjian tersebut, tetapi tidak dengan hati yang jujur dan melanggarnya. Kedengkian mereka semakin bertambah kepada umat Islam setelah mereka menyaksikan pesatnya perkembangan Islam di Madinah.

Mereka memusuhi Islam dengan bertahap. Mula-mula bergabung dengan orang Quraisy, dengan tipu muslihat agar orang Arab sendiri yang menghancurkan orang Arab dengan pedang mereka. Kemudian mereka dengan terang-terangan memusuhi Islam. Fase-fase pergolakan antara orang Yahudi dan Islam dapat dilihat sebagai berikut;

Bani Nadhir

Di antara isi “Perjanjian Madinah” adalah kewajiban penduduk Madinah saling bantu membantu bidang moril dan materiil, termasuk orang Yahudi, sewaktu diperlukan. Maka karena kaum Muslimin Makkah menderita kemiskinan sebab harta mereka di tinggal di Makkah sewaktu hijrah, sementara ada kaum Muslimin dengan tidak sengaja membunuh dua orang laki-laki yang menyebabkan mereka harus membayar diyat, maka Nabi pergi ke perkampungan orang Yahudi Bani Nadhir meminta mereka ikut membayar diyat, sesuai perjanjian.[1]

Bersama Nabi ikut Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi Thalib. Mereka siap membantu Rasulullah, tetapi pada saat ada yang mempersiapkan uang yang akan diberikan kepada Nabi, ada pula di antara mereka yang hendak berusaha membunuh Rasulullah. Rencana tersebut diwahyukan Allah kepada Rasulullah, agar menyingkir dari situ secara diamdiam. Nabi lalu menyingkir.

Dari peristiwa tersebut, membulatkan tekad Nabi dan kaum Msulimin mengusir Bani Nahdir dari kota Madinah, kalau tidak, mereka tidak akan aman dalam negeri mereka sendiri. Kamu Muslimin secepatnya bertindak mengepung perkampungan Yahudi Bani Nadhir selama enam hari enam malam lamanya.

Allah menimbulkan rasa takut di hati musuh itu, mereka cepat-cepat minta izin kepada Rasulullah supaya diizinkan meninggalkan kota Madinah. Nabi mengizinkan dengan syarat hanya membawa sekedar yang dapat dibawa oleh seekor unta dan tidak boleh membawa baju besi. Di antara mereka ada yang menetap di Khaibar, ada pula yang menetap di Syam.[2]

Bani Quraizhah

Bani Quraizhah berkhianat di saat yang sangat genting, karena kaum Muslimin tercepit di antara musuhmusuhnya, yaitu musuh yang datang dari muka belakang dari luar dan dalam di saat adanya perang Ahzab.

Pada saat itu, kaum Muslimin menderita kelaparan yang sangat hebat, sehingga mereka mengikat batu ke perut mereka. Mereka dikepung musuh dari segenap penjuru. Saat itu Yahudi Bani Nadhir mengajak Yahudi Bani Quraizhah bergabung dengan orang Quraish dalam perang Ahzab menghancurkan Islam. Ka’ab pemimpin Bani Quraizhah menerima ajakan itu. Mereka bertekad menghancurkan Islam.

Nabi mengutus Sa’ad bin Mu’az ketua suku Aus dan Sa’ad bin Ubadah ketua suku Khazraj untuk memperingatkan Ka’ab akan bahaya pengkhianatan itu. Akan tetapi peringatan itu diterima Ka’ab dengan sangat kasar dan angkuh.[3]

Akhirnya, perang Ahzab selesai. Musuh- musuh yang menyerang Madinah kembali ke negeri masing-masing dengan tangan hampa. Kaum Muslimin bergerak cepat mengepung tempat-tempat Bani Quraizhah. Kepungan itu menyusahkan Yahudi Bani Quraizhah, akhirnya mereka menyesali perbuatan mereka. Tetapi sesal kemudian tak berguna.

Siang malam selama dua puluh lima hari, mereka dikepung kaum Muslimin, akhirnya mereka menyerah dan menyerahkan nasib mereka kepada Sa’ad bin Mu’az. Sesuai dengan “Perjanjian Madinah” mereka harus dihukum.

Dengan beberapa pertimbangan, antara lain, kalau mereka diampuni dan diusir dari Madinah pasti mereka berkhianat lagi seperti Bani Nadhir, maka Sa’ad menjatuhkan hukuman; “kepada pengkhianat-pengkhianat itu, kaum lakilakinya dibunuh, dan wanita serta anak-anaknya ditawan”. Peristiwa itu terjadi tahun 5 H.

Perang Khaibar

Seperti yang telah diterangkan bahwa kaum Yahudi sangat memusuhi dan mengkhianati kaum Muslimin, meskipun kaum Muslimin sudah berbuat baik kepada mereka. Karena itu, Rasulullah berpendapat bahwa mereka tidak dapat dipercayai lagi. Tidak mustahil mereka akan mengadakan kompolotan lagi setelah gagal dalam perang Ahzhab.

Maka Nabi berketetapan bahwa bahaya seperti ini harus dilenyapkan. Karena itu, Nabi mulai bersiap-siap akan menyerang orang-orang Yahudi penduduk Wadil Qura, Fadak, Taima’ dan Khaibar. Kota pertahanan orang Yahudi yang paling kuat adalah Khaibar. Dari dahulu orang Yahudi sudah bertempat tinggal disitu, ditambah pengungsi Bani Nadhir yang menaruh dendam kepada kaum Muslimin.

Pada tahun ke-7 H, di saat Nabi sedang mengadakan perjanjian dengan orang Quraisy, kaum Muslimin menyerang kota Khaibar. Setelah lama mereka kepung, akhirnya penduduk Khaibar menyerah kepada kaum Muslimin. Maka Rasulullah membuat perjanjian dengan mereka, berikut dengan orang Yahudi penduduk Fadak dan Taima’, demikian juga dengan penduduk Wadil Qura. Dengan demikian fatahlah kekuatan orang Yahudi di masa Nabi.

Permusuhan Orang Arab Lainnya dengan Nabi

Sekalipun Makkah sudah dapat dikalahkan masih ada lagi dua suku Arab yang masih menentang Nabi, yaitu Bani Tsaqif di Thaif dan Bani Hawazin di antara Thaif dan Makkah. Kedua suku ini bergabung membentuk pasukan untuk memerangi Islam. Mereka menuntut bela atas berhala-berhala mereka yang dihancurkan Nabi dan umat Islam di Ka’bah.

Nabi mengerahkan 24.000 pasukan menuju Hunain untuk menghadapi mereka. Pasukan ini dipimpin langsung oleh Nabi, sehingga umat Islam memenangkan pertempuran dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan ditaklukkannya Bani Tsaqif dan Bani Hawazin pada tahun 8 H, seluruh Jazirah Arab telah berada di bawah kekuasaan Rasulullah.

Pada tahun 9 H, Nabi ingin membalas kekalahan Islam dalam perang Mu’tah dengan mengerahkan pasukan besar sebanyak 70.000 orang. Melihat besarnya pasukan Islam yang dipimpin Nabi, tentara Romawi terpaksa menarik mundur pasukannya. Nabi tidak ingin menyerang pasukan yang mundur itu.

Nabi tinggal sebentar di Tabuk dan mengadakan perjanjian dengan penduduk yang ada di perbatasan Jazirah Arab itu. Dengan demikian, daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam. Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah Saw.

Sumber: Nasution, Syamruddin. “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam.” (2017).

Baca Juga: