Menu Tutup

Tafsir Falsafi dan Sejarahnya

Pengertian Tafsir Falsafi

Pengertian tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.

Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.

Alquran adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keIslaman. Pemahaman ayat-ayat Alquran melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam. Di dalam menafsirkan Alquran terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-masing mufasir. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi, falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.

Penafsiran terhadap Alquran telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Alquran serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir Alquran pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangan-Nya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsiran-Nya.

Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.

Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafsir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Alquran tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena di samping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.

Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keIslaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.Namun kombinasi hasil penafsiran tersebu dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.

Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi

Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Alquran dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi.

Thaba’ Thaba’i dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat Alquran. Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Thaba’ Thaba’i dalam tafsirnya memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan Alquran. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja.

Dalam hal ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:

Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan Agama. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan Agama dan Alquran. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan AlQuran dan akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.

Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan Agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat Alquran semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.

Jadi sederhananya adalah ada dua alasan dalam mengkompromikan Alquran dengan filsafat, yaitu:

  1. Cara pertama, mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash Alquran sesuai dengan pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash Alquran pada pandangan-pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
  2. Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al-Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari cara yang pertama.

Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti dikatan al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw, dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw. hanya dengan ruh tanpa jasad.

Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:

  1. Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
  2. al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)

Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir Alquran secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis. Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain:

  1. Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
  2. Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
  3. Rasail Ikhwan al-Safa.

Referensi:

al-Dzahabi, Husein, Muhammad, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995).

Ghani, Abdul, Bustami, Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Qur’an, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994).

Hanafi, A, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979).

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978).

Syihab, Quraisy dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).

Baca Juga: