Menu Tutup

Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Biografi

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilahirkan pada pertengahan bulan Ramadán, tahun 471 H di kampung Jilan. Ibunya adalah Umu al-Khair (induk kebaikan), amat al-Jabbar (khadam Tuhan yang Maha Perkasa) Fatimah binti Abu ‘Abdillah as- Suma’i, seorang ibu yang banyak memiliki karamah dan ahwāl. Beliau menetap di Jilan sampai berusia 18 tahun, pada tahun 488 H pindah ke Baghdad hingga akhir hayatnya.

Mulai belajar sejak usia dini dengan mempelajari al-Qur’an di bawah bimbingan Abu al-Wafa Ali bin Uqail al-Hanbali, Abu Khattab Mahfuz al- Khalwazani al-Hanbali. Belajar hadiś kepada Abu Galib Muhammad bin Hasan al- Balaqalani. Belajar fikih kepada Abu Sa’ad al-Muhrimi. Belajar bahasa dan sastra kepada Abu Zakaria Yahya bin Ali at-Thibrizi, Sahib Hammad ad-Dabbas dan dari yang terakhir ini ia juga mengambil tarekat.

Latar belakang pendidikannya yang sistematis mengantarkannya ke posisi yang tinggi, ia mumpuni dalam ilmu akidah, syari’ah, tarekat, lughah dan sastra. Ia menjadi tokoh utama dalam madzhab Hanbali, sehingga menjadi rujukan dalam madzhab ini.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani termasuk penulis yang produktif, diantara kitab karangannya adalah: Aurad al-Jilani, Tuhfat al-Muttaqin wa Sabil al-‘Arifin, Adab Suluk wa Tawasul ila Manazul Muluk, al-Hizib al-Kabir, Futuh al-Ghaib, dll. Muridnya sangat banyak, diantaranya adalah: Abu Ali Hasan bin Muslim bin Abi al- Jud al-Farisi al-Iraqi (404-594 H) mengambil ilmu fikih dan al-Qur’an. Al-Qudwah al-Arif Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Ma’ali bin Qayid al-Awani (w. 854 H). Qadi ad-Dayyar al-Misriyyah al-Imam az-Zahid Abu al-Qasim Abdul Malik (516-605 H) dan masih banyak lagi.

Selama 40 tahun, ia menyampaikan nasihat-nasihatnya di madrasah miliknya, yakni sejak tahun 521 H hingga 561 H. Beliau tidak menyisakan waktu kecuali diwakafkan untuk ilmu dan bersungguh-sungguh dalam mengajar, memberi fatwa, arahan, nasihat, petunjuk kepada murid-muridnya.

Inti Ajaran Tasawuf

Di kalangan dunia tasawuf, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dijuluki Sultan al- Auliya’ (rajanya para wali). Kedudukan yang mulia ini dicapainya karena   akhlak yang terpuji, ahwāl dan karamah yang dimilikinya. Syaikh Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: “Tidaklah diceritakan keramat seseorang secara mutawatir kecuali Syaikh Abdul Qadir al-Jailani”, pujian yang serupa juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah.

Tasawuf yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir termasuk tasawuf akhlaki, yaitu tasawuf yang berorientasi kepada perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat mencapai maqam ma’rifat kepada Allah. Beliau adalah seorang sufi besar yang berhasil memadukan syari’at dan hakikat secara sinergis, serta berpedoman kepada al-Qur’an dan alHadiś secara konsisten. Beliau menyatakan: Setiap hakikat yang tidak berpijak kepada syari’at adalah kezindikan. Terbanglah kepada Tuhanmu dengan dua sayapmu, yaitu al-Kitab dan as- Sunnah, masuklah kepada-Nya sedangkan kedua tanganmu ada dalam genggaman Rasulullah, jadikanlah Rasulullah Saw.sebagai temanmu dan pengajarmu, biarkan tangannya menghiasimu dan membawamu kepada-Nya”.

Diceritakan oleh Syaikh Ibnu Abi al-Fattah, bahwa pada suatu saat, Syaikh Abdul Qadir melihat seberkas cahaya berkilau menerangi ufuk langit, dalam cahaya itu ada yang menampakkan diri seraya berkata “wahai Abdul Qadir, aku adalah Tuhanmu, sungguh telah UakuJhIalaPlkaUn bBagiLmuIsKegala yang diharamkan”, lalu Syaikh

Abdul Qadir berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk dan menyeru kepada suara tadi dengan ucapan “enyahlah dariku wahai makhluk terkutuk”. Seketika itu cahaya tadi berubah menjadi gelap menyerupai asap lalu bersuara keras, “wahai Abdul Qadir, engkau selamat dari tipu dayaku, sebab ilmumu tentang hukum-hukum Tuhanmu dan sebab pemahamanmu tentang kedudukanmu, sungguh aku telah menyesatkan dengan kejadian serupa ini kepada 70 ahli tarekat.”

Setelah selamat dari tipu daya tersebut, beliau memuji Allah Swt. dengan mengucapkan: ”anugerah dan keselamatan hanya karena Tuhanku”. Syaikh Abdul Qadir ditanya: bagaimana anda bisa tahu bahwa cahaya itu adalah setan? Beliaupun menjawab: “dari ucapannya, yaitu telah aku halalkan bagimu segala yang diharamkan”. Karena Allah tidak akan memerintahkan berbuat jahat.

Syaikh Abdul Qadir melihat ajaran Islam dari dua aspek, yaitu lahir dan batin. Dalam setiap ayat al-Qur’an, juga mengandung makna lahir dan batin, misalnya tentang ṭaharah yang berarti bersuci. Bagi Syaikh Abdul Qadir, bersuci terbagi menjadi dua. Pertama, penyucian diri secara lahiriah dengan wudhu atau mandi. Kedua, penyucian diri secara batiniah diawali dengan kesadaran akan adanya kotoran pada diri manusia tersebut, yaitu dosa. Kemudia dilanjutkan dengan menyesali perbuatan dosa tersebut. Cara penyucian batiniah harus mengambil jalan spiritual yang diajarkan dan dibimbing oleh guru/mursyid spiritual yang otoritatif (mempunyai sanad keilmuan yang jelas) melalui taubat, talqin, ẓikir, tasfiah, dan suluk.

Kesucian batin dapat hilang oleh karakter buruk manusia, tingkah laku yang rendah, tindakan-tindakan tidak sah (haram), dan sikap-sikap seperti kebanggaan diri, keangkuhan, berdusta, bergunjing, fitnah, iri hati, amarah, mengkonsumsi makanan haram. Aktifitas fisik juga dapat menghilangkan kesucian batin, misalnya: mata melihat hal-hal yang haram, telinga digunakan untuk mendengarkan pergunjingan dan sejenisnya, tangan digunakan untuk memukul orang yang tidak bersalah, mulut digunakan untuk berkata kotor dan memaki, serta yang lainnya.

Ketika kesucian batin menjadi kotor, maka wudhu spiritual juga menjadi batal. Pembaharuan wudhunya dengan penyesalan (taubat) yang sungguh-sungguh, istighfar (memohon ampun kepada Allah atau kepada orang yang diẓalimi), dan berdo’a agar Allah melindunginya dari perbuatan yang serupa di lain waktu.

Syaikh Abdul Qadir melihat ajaran Islam dari dua sisi, yaitu lahir dan batin. Lahir artinya aspek formal ajaran fikih, sementara yang dimaksud ajaran batin (substansi) adalah tasawuf. Beliau mengamalkan ajaran Islam dari dua aspek tersebut. Mengamalkan ajaran agama tidak hanya dari sisi fikih saja, sebab fikih baru mengandung aspek pengamalan formal ajaran Islam yang seringkali tidak menyentuh aras dasar ajaran Islam yang sangat mendalam, sehingga dibutuhkan pengamalan agama secara mendalam/substantif yaitu dengan pengamalan tasawuf. Beliau juga tidak  hanya  mementingkUan  JibIadaPh UfarḍBu  LsajaI,Ktetapi  amalan  sunnah  juga  menjadi perhatian penting dalam pengamalan ibadahnya.

Baca Juga: