Menu Tutup

Bolehkah Istri Minta Cerai Karena Merasa Tidak Bahagia?

Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri yang disebabkan oleh kematian atau putusan pengadilan. Perceraian biasanya terjadi ketika salah satu atau kedua pasangan sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangganya. Ada banyak alasan yang bisa menyebabkan perceraian, seperti perselingkuhan, kekerasan, ketidakharmonisan, ketidakcukupan, dan lain-lain. Namun, ada juga alasan yang mungkin kurang umum, yaitu tidak bahagia. Apakah seorang istri boleh minta cerai kepada suaminya hanya karena merasa tidak bahagia?

Dasar Hukum

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat dasar hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian di Indonesia. Salah satu aturan hukum yang mengatur perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta perubahannya (UU Perkawinan). Dalam UU Perkawinan tersebut dijelaskan beberapa alasan yang dapat menyebabkan putusnya ikatan perkawinan. Alasan tersebut antara lain:

  • Kematian
  • Putusan dari pengadilan (perceraian)

Dalam hal perceraian, UU Perkawinan juga mengatur dua syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu:

  • Upaya perdamaian atau mediasi yang gagal
  • Alasan permohonan perceraian sesuai dengan aturan yang berlaku

Alasan permohonan perceraian sesuai dengan aturan yang berlaku diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP Perkawinan). Alasan tersebut antara lain:

  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
  • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak lain
  • Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri
  • Antara suami dan istri terjadi pertengkaran atau perselisihan dan permusuhan terus-menerus sehingga tidak mungkin hidup rukun lagi dalam rumah tangga

Dari alasan-alasan di atas, dapatkah alasan tidak bahagia dijadikan sebagai alasan mengajukan gugatan perceraian?

Perspektif Hukum Nasional

Dari perspektif hukum nasional, alasan tidak bahagia secara eksplisit tidak termasuk dalam alasan permohonan perceraian yang sah menurut UU Perkawinan dan PP Perkawinan. Namun, alasan tidak bahagia dapat dikaitkan dengan salah satu alasan yang ada, yaitu adanya pertengkaran atau perselisihan dan permusuhan terus-menerus sehingga tidak mungkin hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dalam peraturan yang berlaku, apabila seorang istri minta cerai karena tidak bahagia sebenarnya diperbolehkan. Alasan ini berkaitan dengan poin keenam yang menyebutkan bahwa permohonan perceraian diajukan karena adanya pertengkaran atau selisih paham yang berkelanjutan hingga menyebabkan kecilnya harapan untuk dapat akur kembali.

Namun, alasan ini harus dibuktikan dengan fakta dan saksi di pengadilan. Seorang istri tidak bisa hanya mengandalkan perasaannya saja untuk minta cerai. Ia harus menunjukkan bahwa suaminya telah melakukan hal-hal yang membuatnya tidak bahagia, seperti tidak memberi nafkah, tidak memberi perhatian, tidak memberi kebebasan, tidak memberi kepuasan, dan lain sebagainya. Ia juga harus menunjukkan bahwa ia telah berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan suaminya, tetapi tidak berhasil.

Perspektif Hukum Islam

Dari perspektif hukum Islam, alasan tidak bahagia juga dapat dijadikan sebagai alasan untuk minta cerai. Dalam Islam, tujuan utama pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Rum ayat 21 berikut;

> Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenang dan tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Berdasarkan ayat ini, maka bila salah satu pihak antara suami atau istri sudah merasa tidak nyaman dan tidak bahagia, maka suami boleh menceraikan istrinya atau istri boleh minta cerai kepada suaminya. Menurut Ibnu Qudamah, jika istri merasa tidak bahagia dengan suaminya dan dia khawatir tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai istri, maka dia boleh minta cerai kepada suaminya. Dalam fiqih, pemintaan cerai dari istri kepada suaminya disebut dengan khulu’. Khulu’ dibolehkan dalam Islam. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni sebagai berikut;

> Kesimpulannya, jika seorang istri benci suaminya baik karena fisiknya, akhlaknya, agamanya, tuanya atau lemahnya, atau lainnya, dan dia khawatir tidak bisa melaksanakan hak Allah dalam bentuk ketaatan kepada suaminya, maka dia boleh minta cerai dengan memberi harta sebagai tebusan dirinya.

Selain itu, Nabi Saw pernah mengabulkan permintaan istri Tsabit untuk bercerai dengan Tsabit, suaminya. Ini menunjukkan bahwa istri minta cerai karena alasan tidak bahagia dan khawatir tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai istri boleh. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas, dia berkisah;

> Istri Tsabit bin Qais bin Syimas datang kepada Rasulullah Saw seraya berkata; Wahai Rasulullah, aku tidak benci terhadap Tsabit baik dalam segi agama ataupun fisik, hanya saja aku takut kufur. Rasulullah Saw bertanya; Apakah kamu mau mengembalikan kepadanya kebun yang dia berikan kepadamu? Istri Tsabit menjawab; Ya. Lalu Rasulullah Saw bersabda kepada Tsabit; Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia.

Baca Juga: