Menu Tutup

Madzhab Awam

a. Pengucapan Kata Awam

Banyak yang salah kaprah saat mengucapkan awam. Banyak yang meletakkan tasydid atas huruf waw. Padahal kalau pengucapannya demikian, maksud yang dikandungnya sungguh jauh berbeda. Awam dengan tasydid di atas waw maknanya adalah perenang handal. Tapi barangkali pengucapnya memang seorang ustadz awam.

Sedangkan awam dengan maksud umumnya kebanyakan orang, yaitu banyak yang bukan mujtahid, maka pengucapannya adalah dengan mentasydid mim di akhirnya. Memang pengucapan ini barangkali akan terasa sulit bagi sebagian orang. Tapi dalam bahasa arab, demikianlah seharusnya.

b. Definisi Awam

Secara sederhana awam adalah bukan mujtahid. Akan tetapi karena ada level-level ijtihad yang dilakukan dalam sebuah madzhab, dan itu dilakukan oleh para ulama yang bertaklid atau bermadzhab dengan madzhab tertentu, maka perlu ada klasifikasi mujtahid maupun klasifikasi awam. Awam yang memiliki beberapa perangkat ijtihad, sudah dibahas pada pembahasan sebelum ini.

Nah pada bagian ini, adalah awam yang benarbenar tidak bisa membaca, menganalisa, apalagi sampai menggali suatu hukum. Pokoknya benarbenar awam. Sampai-sampai untuk mengakses fatwa dan fiqih yang sudah tersajikan di mana-mana pun benar-benar tidak mampu.

Nah apakah kaum muslimin dengan kemampuan seperti ini tetap wajib bermadzhab ? Padahal kalau kita baca dengan seksama definisi madzhab yang sudah mengalami perkembangan cukup dinamis itu, maka awam level ini jelas akan sangat kebingungan. Apalagi menentukan pandangan mana yang harus dipilih dalam satu madzhab, ulamanya saja tidak kenal. Dan memang mereka sama sekali tidak bisa mengakses.

c. Madzhab Awam : Madzhab Muftinya

Dan kaidah inilah jawaban untuk problematika awam. Banyak para ulama ushul fiqih yang menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Saat yang awam bertanya kepada seorang narasumber yang memang dipercaya layak untuk berfatwa atau minimal menukil fatwa, maka itulah madzhabnya.

Orang awam level ini sama sekali tidak memiliki madzhab yang dianut secara hirarkis analisis ilmiah itu. Tapi dia bukan berarti tidak bermadzhab. Apalagi bermadzhab dengan ‘madzhab rasulullah’. Dia bermadzhab dengan madzhab muftinya. Atau kalau nukilan sang mufti benar, maka boleh juga dikatakan dia bermadzhab dengan madzhab yang dinukil tersebut.

Ibnu Amir Haj Al Hanafi mengatakan,

“Tidak sah bagi seorang awam untuk bermadzhab, walaupun dia menisbatkan diri ke sebuah madzhab. Karena madzhab hanya sah dianut oleh mereka yang memiliki kemampuan analisa dan beristidlal. Juga memiliki pengetahuan yang cukup tentang beragam perbedaan. Atau bagi orang yang sudah membaca kitab-kitab fiqih madzhab tersebut. Juga mengetahui fatwa-fatwa dan pandangan hukum Imamnya. Sedangkan yang tidak memiliki kemampuan itu sama sekali, tetapi mengaku seorang Hanafi, syafi’i, atau selainnya maka tidak serta merta dengan pengakuannya tersebut dia sah disebut bermadzhab”

Imam As Syatibi Al Maliki juga mengatakan bahwa orang awam memang bukan ahlinya meneliti. Bahkan mereka diharamkan untuk meneliti. Dalil bagi mereka jika mereka mengetahuinya itu sama saja seperti pada saat tidak mengetahuinya. Makanya beliau dengan simpel menyimpulkan bahwa,

“fatwa bagi awam itu layaknya dalil bagi mujtahid” 

Abul Fath Al Harawi yang merupakan murid Imam

Syafi’i -sebagaimana dinukil Imam Ar Rafi’i- pernah mengatakan,

 “madzhab umumnya para ulama syafi’iyyah adalah bahwa orang awam tidak memiliki madzhab”

Termasuk juga Imam Nawawi sendiri sebagai salah satu rujukan primer ulama syafi’iyyah, mengatakan dalam Ar Raudhah bahwa untuk orang awam tidaklah bermadzhab (secara analisis) dengan satu madzhab tertentu. Tapi cukup baginya beristifta (bermadzhab dengan madzhab muftinya) kepada siapa pun. Yang penting jangan sampai melakukan tatabu ar rukhas (pilih yang enak sesuai selera nafsu).

Dalam madzhab Hanbali, kita mengenal seorang ulama besar Damaskus yang menjelaskan terkait bermadzhab dengan madzhab muftinya ini. Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Ar Raudhah mengatakan,

Apabila di suatu negri terdapat banyak mujtahid, maka bagi orang awam boleh bertanya kepada siapa saja yang ia mau. Tidak mesti merujuk kepada mufti yang paling alim. Sebagaimana dinukilkan dari zaman shahabat, bahwa seorang yang awam boleh bertanya kepada ulama, baik yang utama atau yang kurang utama.”

Sumber: Sutomo Abu Nashr, Madzhabmu Rasulullah? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Indonesia, 2018

Baca Juga: