Menu Tutup

Melakukan Shalat Tarawih Berjamaah: Jejak Sunnah Rasulullah

Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan setelah shalat isya’. Shalat ini disebut tarawih karena setiap empat rakaat, para jamaah duduk untuk istirahat sejenak. Shalat tarawih memiliki banyak keutamaan dan fadhilah, di antaranya adalah mendapatkan ampunan dosa, pahala seperti shalat seribu rakaat, dan kesempatan untuk menyaksikan lailatul qadar.

Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan dan tidak boleh ditinggalkan tanpa udzur. Shalat tarawih bisa dilakukan secara sendirian (munfarid) atau berjamaah. Namun, lebih utama dan lebih afdhal adalah mengerjakannya secara berjamaah di masjid.

Hal ini berdasarkan beberapa dalil dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ ulama. Di antaranya adalah:

  • Firman Allah Ta’ala:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43)

Ayat ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah adalah perintah Allah yang umum bagi semua shalat wajib maupun sunnah.

  • Hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Pada malam 23 Ramadhan, kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan shalat tarawih hingga sepertiga malam pertama. Kemudian pada malam 25 Ramadhan, kami bersama beliau menegakkan shalat tarawih hingga separuh malam dan pada malam 27 Ramadhan, kami mengerjakan shalat tarawih hingga kami menyangka tidak akan mendapat al-falah. An-Nu’man bin Tsabit berkata, kami menyebut sahur dengan sebutan al-falah.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah dengan para sahabatnya di masjid.

  • Hadits dari Tsa’labah bin Abu Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Pada suatu malam di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid. Beliau mendapati para sahabat sedang shalat di salah satu sisi masjid. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Apa yang mereka lakukan?’ Salah seorang sahabat menjawab: ‘Wahai Rasulullah! Mereka adalah para sahabat, tidak ada di tengah-tengah mereka yang menghafal al-Qur’an. Maka Ubay bin Ka’ab membacakan al-Qur’an kepada mereka, lalu mereka pun shalat bersamanya.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Mereka telah berbuat baik atau mereka telah berbuat sesuatu yang benar.’ Tsa’labah pun mengatakan: ‘Nabi tidak membenci apa yang diperbuat oleh para sahabat tersebut.’” (HR. Al-Bazzar)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui dan memuji perbuatan para sahabat yang mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah dengan para sahabatnya di masjid.

Namun, pada malam keempat, beliau tidak keluar lagi untuk shalat berjamaah. Ketika ditanya alasan beliau, beliau bersabda:

“لَمْ أَخْرُجْ وَقَدْ نَوَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ مَعَكُمْ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ”

“Aku tidak keluar dan padahal aku berniat untuk shalat bersama kalian. Kemudian aku khawatir jika shalat itu diwajibkan atas kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki agar shalat tarawih tetap menjadi sunnah dan tidak menjadi wajib. Beliau juga menghendaki agar umatnya tidak merasa berat dan bosan dalam mengerjakannya.

Shalat tarawih berjamaah kemudian dilanjutkan oleh para sahabat pada masa khilafah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau melihat bahwa para sahabat shalat tarawih secara terpisah-pisah di masjid. Maka beliau berkata:

“لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قِرَاءَةِ رَجُلٍ وَاحِدٍ لَكَانَ خَيْرًا”

“Seandainya aku mengumpulkan mereka semua di bawah bacaan satu orang saja, pasti lebih baik.” (HR. Bukhari)

Maka beliau pun mengumpulkan mereka di bawah imamah Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau melihat mereka shalat berjamaah, beliau berkata:

“نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ”

“Ini adalah bid’ah yang baik.” (HR. Bukhari)

Ucapan Umar ini bukan berarti beliau mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama. Akan tetapi, beliau hanya mengembalikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempat ditinggalkan karena alasan tertentu. Bid’ah yang baik di sini maksudnya adalah pembaharuan yang sesuai dengan syariat.

Baca Juga: