Menu Tutup

Sejarah Asuransi Syariah

Praktek asuransi sudah ada sejak zaman sebelum Rasulullah SAW. Asuransi merupakan budaya dari suku Arab kuno. Praktek asuransi disebut dengan âqilah.

Thomas Patrick menyebutkan dalam bukunya Dictionary of Islam seperti yang telah dikutip oleh Zainuddin Ali menjelaskan bahwa jika terdapat salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, keluarga atau ahli waris korban akan dibayar dengan sejumlah uang darah (diyat).[1]

Uang darah ini merupakan konpensasi yang diberikan oleh saudara terdekat dari pembunuh kepada keluarga ahli waris korban pembunuhan. Istilah  âqilah  berarti saudara terdekat pembunuh.

Kata âqilah secara sederhana dapat diartikan sebagai saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga. Hal ini dapat menggambarkan bahwa suku Arab pada saat itu harus siap untuk melakukan kontribusi financial atas nama pembunuhan untuk membayar sejumlah uang kepada keluarga atau ahli waris korban.

Dalam âqilah, setiap anggota suku memberikan kontribus yang fungsinya untuk membayar uang darah apabilah salah satu anggota suku membunuh anggota suku lain. Praktek âqilah sama halnya dengan praktek asuransi, kontribusi yang dberikan kepada ahli waris korban sama dengan nilai pertanggungan.

Dengan demikian, maka suku Arab pada zaman dahulu sudah mempraktekkan asuransi dengan cara melakukan proteksi terhadap anggota sukunya terhadap risiko pembunuhan yang bisa terjadi setiap saat tanpa duga sebelumnya.

Pembahasan asuransi dalam wilayah kajian ilmuilmu keislaman baru muncul pada fase lahirnya ulama kontemporer. Tercatat dalam literature sederet nama yang menekuni kajian asuransi diantaranya adalah, Ibnu Abidin (1784-1836), Muhammad Nejatullah al Shiddiqi, Muhammad Muslehuddin, Fazlur Rahman, Mannan, Yusud al Qardhawi, Mohd. Ma’shum Billah, merupakan deretan nama ulama ternama yang hidup di era abad modern.

Di sini, kajian tentang asuransi merupakan sebuah paket dari kajian ekonomi Islam yang biasanya selalu dikaji bersama-sama dengan pembahasan perbankan dalam Islam, Jadi, asuransi Islam atau asuransi syariah merupakan hasil pemikiran ulama kontemporer.

Sejarah terbentuknya asuransi syariah dimulai sejak tahun 1979 yang ditandai dengan berdirinya perusahaan asuransi di Sudan bernama Sudanese Islamic Insurance.

Perusahaan tersebut pertama kali memperkenalkan asuransi syariah. Pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab juga memperkennalkan asuransi syariah di wilayah Arab.

Kemudian asuransi syariah juga dikenal di Swiss yang ditandai dengan berdirinya asuransi syariah bernama Dar al Mâl al Islâmi pada tahun 1981 yang selanjutnya memperkenalkan asuransi syariah ke Jenewa. Di Eropa, asuransi syariah kedua bernama Islamic Takafol Company (ITC) yang berdiri di Luksemburg pada tahun 1983, dan diikuti oleh beberapa Negara lainnya.

Secara prinsipil kajian ekonomi Islam selalu mengedepankan asas keadilan, tolong-menolong, menghindari kezaliman,pengharaman riba, prinsip profit and loss sharing serta penghilangan unsur gharar, Maka dari sini ditarik garis parallel terhadap prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebua institusi asuransi syariah. Sebab, asuransi syariah secara teoritis masih menginduk kepada kajian ekonomi Islam secara umum.

Di samping prinsip dasar di atas yang harus dipenuhi oleh lembaga asuransi syariah, asuransi syariah juga harus mengembangkan sebuah manajemen asuransi secara mandiri, terpadu, professional serta tidak menyalahi aturan dasar yang telah digariskan dalam syariah Islam. untuk tujuan menjaga agar selalu sesuai dengan syari’at Islam maka pada setiap asuransi harus ada Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Di sinilah ulama kontemporer bermain dalam menggali dan menyusun sebuah kinerja dan manajemen asuransi syariah. Mengutip pernyataan Nejatullah al Shiddiqi, bahwa asuransi syariah harus membawa unsur tolong-menolong,seperti apa yang terjadi di awal sejarah asuransi yang menjadikan prinsip tolong- menolong sebagai unsur utama di dalamnya.

Dari sini, asuransi syariah mengemban tugas agar melakukan pembersihan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariah terhadap praktik yang dijalankan oleh asuransi konvensional.

Nilai-nilai seperti matrealistis, individualistis, kapitalis, harus dihapus, sebagai gantinya dimasukkan semangat keadilan, kerja sama dan saling tolong-menolong.

Asuransi syariah di Indonesia merupakan sebuah cita-cita yang telah dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi modern yang siapmelayani umat Islam Indonesia dan bersaing dengan lembaga asuransi konvensional.

Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada pada paruh akhir tahun 1994, yaitu dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT Asuransi Takaful Keluarga melalui SK Menkeu No. Kep-385/KMK.017/1994.

Pendirian Asuransi Takaful Indonesia  diprakarsai oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang diperoleh oleh ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan dan Pengusaha Muslim Indonesia.

Melalui berbagai seminar nasional dan setelah mengadakan studi banding dengan Takaful Malaysia, akhir berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24 Februari 1994, kemudian PT STI mendirikan 2 anak

perusahaan, yakni PT Asuransi Takaful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Takaful Umum (General Insurance).

PT Asuransi Takaful Keluarga diresmkan lebih awal pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh Menteri Keuangan saat itu. Setelah keluarnya izin operasional perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994.

Setelah itu beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir seperti PT. Asuransi Syariah Mubarakah 1997 dan beberapa unut asuransi syariah dari asuransi konvensional seperti MAA Assurance 2000, Asuransi Great Eastern 2001, Asuransi Bumi Putra 2003, Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera 2003, Asuransi Tripakarta 2002.

Asuransi Jasindo Takaful 2003, Asuransi Binagria 2003, Asuransi Burnida 2003, Asuransi Staci Jasa Pratama 2004, Asuransi Central Asia 2004, Asuransi Adira Syariah 2004, Asuransi BNI Jiwasraya Syariah 2004, Asuransi Sinar Mas 2004, Asuransi Tokio Marine Syariah 2004, dan Reindo Divisi Syariah 2004 yang hingga bulan Agustus 2005 merupakan satusatunya perusahaan re-asuransi yang syariah.

Berdasarkan data terakhir dari DSN MUI, jumlah asuransi syariah saat ini telah mencapai 52 jenis asuransi, yang terdiri dari 43 asuransi syariah, 3 reasuransi syariah dan 6 broker asuransi dan reasuransi syariah.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan perkembangan asuransi syariah di dunia hingga saat ini semakin dikenal luas dan dinikmati oleh masyarakat dunia, baik oleh negara-negara dengan penduduk muslim mayoritas maupun dengan penduduk muslim minoritas.

Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia telah mengalami kemajuan pesat, khususnya karena Indonesia didominasi oleh kaum muslim maka permintaan akan asuransi syariah pun semakin tinggi apalagi asuransi ini didasarkan pada prinsip syari’at Islam.

[1] Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 10

Sumber: Muhammad Ajib, Asuransi Syariah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

 

Baca Juga: