Menu Tutup

Standar Nilai Mahar

[otw_shortcode_dropcap label=”P” background_color_class=”otw-green-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]ara ulama sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal untuk nilai mahar. Meskipun ada di antara ulama yang mensunnahkan mahar senilai mahar Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – yaitu 5000 dirham.

Namun pada prinsipnya, para ulama sepakat bahwa mahar terbaik adalah mahar yang meringankan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

Dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha -: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Nikah yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya.” (HR. Ahmad)

Adapun dalil bahwa tidak ada batasan maksimal untuk nilai mahar, adalah QS. an-Nisa’ ayat 20 yang dijadikan dalil oleh Syifa’ binti Abdulah untuk menanggapi kebijakan khalifah Umar tentang batasan maksimal mahar pernikahan.

Dari Sya’bi, ia berkata: Suatu hari Umar bin Khatthab – radhiyallahu ‘anhu – menyampaikan khutbah. Lantas setalah ia mengucapkan hamdalah dan memuji Allah, ia berkata: “Ketahuilah, janganlah kalian berlebih-lebhan dalam memberikan mahar pada para wanita. Dan jika ada seorang di antara kalian yang memberikan mahar di atas nilai mahar Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, maka aku akan menjadikan kelebihannya sebagai harta baitul maal.” Lantas beliau turun dari mimbar, namun kemudian ada seorang wanita ang berada di dekatanya berkata: “Wahai amirul mu’minin, apakah kitab Allah yang layak diikuti atau perkataanmu?.” Umar menjawab: “Pastinya kitab Allah. Tapi ini maksudnya apa?”. Sang wanita berkata: “Engkau tadi melarang orang-orang berlebih-lebihan dalam pemberian mahar, padahal Allah swt berfirman dalam kitab-Nya: “Dan kalian memberikan untuk istri kalian berupa qinthar (harta yang banyak). Maka janganlah kamu mengambil dari sebagiannya.” (QS. An-Nisa’: 20). Lantas Umar berkata: “Setiap orang lebih paham dari pada Umar – beliau menyebutnya 2 atau 3 kali -.” Lalu ia kembali menaiki minbar dan berkata kepada orang-orang: “Sebelumnya aku melarang kalian dari berlebih-lebihan dalam pemberian mahar, maka ketahuilah, lakukanlah apa yang menurut kalian baik dalam penggunaan harta kalian.” (HR. Baihaqi)

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi menjelaskan kesepakatan para ulama di atas dalam kitabnya, al-Mughni:

Adapun nilai maksimal mahar, maka para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan untuk itu. Kesepakatan ini disebutkan pula oleh Ibnu Abdil Barr. Di mana Allah swt berfirman: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yangdusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. (QS. An-Nisa’: 20). Abu Hafsh dengan sanadnya meriwayatkan bahwa Umar memberikan mahar pernikahan kepada istrinya Ummu Kultsum bin Ali bin Abi Thalib sebanyak 5000 dirham. Dan diriwayatkan dari Umar yang berkata: Aku pernah hendak melarang orang-orang memberikan mahar yang banyak, namun aku teringat dengan firman Allah swt: “sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 20)

Adapun untuk standar nilai minimalnya, para ulama pada umumnya juga sepakat bahwa tidak ada standar minimal untuk nilai mahar. Meskipun di antara mereka ada yang menetapkan batasan minimal sebagai suatu anjuran.

Mazhab Pertama: Tidak ada batas minimal secara mutlak.

Mazhab Syafi’i dan Hanbali sepakat bahwa tidak ada batas minimal untuk mahar. Sehingga prinsipnya, apa saja yang layak dijadikan alat pembayaran atau benda yang diperjual-belikan boleh dijadikan mahar.

Mereka juga membolehkan mahar dalam bentuk upah atas suatu kerja (ujrah), baik nilainya besar ataupun kecil. Yang penting masih layak disebut harta.

Mazhab Kedua: Ada batas minimal yang dianjurkan.

Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tidak disebut sebagai mahar kecuali ada nilai minimalnya. Di mana standarnya pada dasarnya dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat dalam menilai sesuatu sebagai harta. Hal ini didasarkan kepada ayat berikut:

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini. (QS. An-Nisa’: 24)

Meski demikian para ulama al-Hanafiyyah memfatwakan batasan minimalnya sebesar 10 dirham. Dan para ulama al-Malikiyyah memfatwakan batasan minimalnya sebesar ¼ dinar atau 3 dirham.

Referensi:

Isnan Ansory, Lc. M.A., Fiqih Mahar, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020

Baca Juga: