Menu Tutup

Tuanku Tambusai: Tokoh Paderi yang Melawan Belanda

Tuanku Tambusai adalah salah seorang tokoh Paderi terkemuka yang berasal dari Rokan, Riau. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda dengan kecerdikan dan keberanian yang luar biasa. Ia dijuluki sebagai De Padrische Tijger van Rokan atau Harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda.

Latar Belakang

Tuanku Tambusai lahir pada 5 November 1784 di Dalu-Dalu, sebuah desa yang berbatasan dengan Sumatra Utara, di nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau¹. Ia memiliki nama kecil Muhammad Saleh. Ia merupakan anak dari pasangan Minangkabau, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minangkabau yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai².

Sejak kecil, Tuanku Tambusai telah diajarkan oleh ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Untuk memperdalam ilmu agama, ia pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatra Barat. Di sana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga ia mendapatkan gelar fakih atau orang yang paham aturan Islam. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Di sini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut.

Perjuangan Melawan Belanda

Perjuangan Tuanku Tambusai dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-Dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.

Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda¹.

Akhir Hidup

Pada tahun 1837, setelah perjanjian antara Belanda dengan Tuanku Imam Bonjol dan Haji Piobang (Tuanku Rao), Tuanku Tambusai bersama pengikutnya menyingkir ke daerah Sipirok dan Angkola. Di sana ia mendirikan sebuah pesantren dan terus menyebarkan ajaran Paderi¹. Pada tahun 1845, ia bersama pengikutnya hijrah ke Negeri Sembilan di Malaysia untuk menghindari kejaran Belanda. Di sana ia mendapat perlindungan dari Sultan Negeri Sembilan yang juga berasal dari Minangkabau. Ia wafat pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan dan dimakamkan di sana².

Tuanku Tambusai adalah salah seorang tokoh Paderi yang berjasa dalam mempertahankan dan menyebarkan Islam di tanah air. Ia juga merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan yang melawan penjajahan Belanda dengan gigih dan pantang menyerah. Ia pantas dihormati dan dijadikan teladan bagi generasi penerus bangsa.

Sumber:
(1) Tuanku Tambusai – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Tambusai.
(2) Tuanku Tambusai: Latar Belakang, Perjuangan, dan Akhir Hidup – Kompas.com. https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/14/130000079/tuanku-tambusai–latar-belakang-perjuangan-dan-akhir-hidup.

Baca Juga: