Menu Tutup

Wakaf dalam sistem perundangan di Indonesia

Kedudukan harta wakaf

Dalam pandangan al – Maududi (1985) sebagaimana yang dikutif oleh imam Suhadi, bahwa pemilikan harta dalam islam itu harus disertai dengan tanggung jawab moral. Artinya, segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga, secara moral harus diyakini secara teologis bahwa ada sebagian dari harta tersebut menjadi hak pagi pihak lain, yaitu untuk kesejahtraan sesame yang secara ekonomi kurang atau tidak mampu, seperti fakir miskin, yatim piatu, manula, anak – anak terlantar dan fasilitas sosial.

Azas keseimbangan dalam kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan azas hokum yang universal. Azas tersebut diambil dari tujuan perwakafan. Yaitu untuk beribadah atau pengabdian kepada Allah SWT sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan spirit antara manusia (makhluq) dengan Allah (khaliq). Titik keseimbangan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan keserasian dirinya dengan hati nuraninya untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban dalam hidup. Azas keseimbangan telah menjadi azas pembangunan, baik didunia maupun diakhirat, yaitu antara spirit dan materi dan indifidu dengan masyarakat.

Pemilik harta benda mengandung prinsip atau konsepsi bahwa semua benda hakikatnya milik Allah SWT. Kepemilikan dalam ajaran Islam disebut juga amanah (pekercayaan), yang mengandung arti, bahwa harta yang dimiliki harus dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah. Konsepsi tersebut sesuai dengan firman Allah:

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya (QS: al-Maidah: 120)

Sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan memiliki akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hokum yang seterusnya menjadi milik Alla, yang dikelola oleh perorangan dan atau lembaga Nazhir, sedangkan manfaat bendanya digunakan untuk kepentingan umum.

Sebagai konsep sosial yang memiliki dimensi ibadah, wakaf juga disebut amal shadaqah jariyah, dimana pahala yang didapat oleh wakif (orang yang mewakafkan harta) akan selalu mengalir selama harta itu masih ada dan bermanfaat. Untuk itu harta yang telah diikrarkan untuk diwakafkan, maka sejak saat itu harta tersebut terlepas dari kepemilikan wakif dan kemanfaatannya menjadi hak – hak penerima wakaf. Dengan demikian, harta wakaf tersebut menjadi amanat allah kepada orngan atau badan hokum (yang bersetatus sebagai Nazhir) untuk mengurus dan mengelolanya.

Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau bali pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, misalnya, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik siwakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Sedangkan yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahtraan masyarakat banyak.

Tata cara perwakafan tanah milik

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia (Pasal 19 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960). Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang memuat pengaturan secara teknis penyelenggaraan pendaftaran tanah di negara Indonesia. Pada pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 bahwa tanah yang akan diwakafkan harus merupakan tanah hak milik dan harus bebas ikatan, jaminan, sitaan dan juga bebas dari persengketaan. Hal ini juga dinyatakan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1977. Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam dan juga salah satu pengamalan dari Pancasila. Berhubungan dengan itu, maka tanah yang hendak diwakafkan itu harus betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya dari sudut pemilikan. Selain dari pada itu persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Berdasarkan pandangan diatas, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti hipotik, credietverband, tanah dalam proses perkara dan sengketa tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.

Untuk dapat mencapai hak milik suatu tanah terlebih dahulu harus diadakan pendaftaran tanah. Hak milik atas tanah dalam pengertian sekarang, sebagimana tercantum dalam pasal 20 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah: “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengikat ketentuan dalam pasal 6.” Menurut pasal 6 dari UUPA tersebut menyatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Terkuat dan terpenuh disini tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan untuk membedakan dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, hak milik yang merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh diantara semua hak-hak atas tanah lainnya. Sehingga si pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali di tangan siapapun benda itu berada. Seseorang yang mempunyai hak milik dapat berbuat apa saja sekehendak hatinya atas miliknya itu, asal saja tindakannya itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak atau kepentingan orang lain.

Yang dapat mempunyai hak milik, menurut pasal 21 UUPA yaitu:

  1. Warga Negara Indonesia
  2. Badan-badan hukum tertentu
  3. Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan sepanjang tanahnya dipergunakan untuk itu.

Hak milik terhadap suatu tanah dapat terhapus apabila:

  1. Tanahnya kepada Negara, karena:
  2. Pencabutan hak
  3. Penyerahan sukarela oleh pemiliknya
  4.  Diterlantarkan
  5. Berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA.
  6. Tanahnya musnah

Setelah tanah yang hendak diwakafkan itu sudah didaftarkan dan sudah memperoleh kekuatan hukum sebagai hak milik, barulah perwakafan dapat dilaksanakan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 ini menegaskan bahwa semua tanah yang diwakafkan harus didaftarkan kepada Sub. Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya. Teknis pelaksanaan secara adminitratif diakui dengan peraturan Menteri Dalam Negeri Agama No. 1 Tahun 1978 tertanggal 10 Januari 1978, mengatur secara menyeluruh teknis administatif dari pada pelaksanaan perbuatan hukum wakaf, maka secara diam-diam memberikan penegasan tentang kompetensi Departemen Agama sebagai pelaksanaan urusan wakaf.

Dengan PP No. 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 serta Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 lengkaplah sudah perbuatan hukum wakaf tanah milik dapat dilaksanakan dengan baik. (Suhadi, 1981: 32)

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan bagian prosedur tata cara perwakafan tanah milik harus dilakukan pertama, maka pihak yang mewakafkan tanahnya diharuskan datang menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya mengikrarkan kehendaknya secara tegas, jelas, dan lugas kepada nadzir dihadapan PPAIW tersebut. Isi dan bentuk dibuktikan dengan tertulis dan ini ditentukan oleh Menteri Agama. Bentuk dan isi dari pada ikrar wakaf ini telah ditentukan di dalam Peraturan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 dengan Nomor. Kep/D/75/78. Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik harus digunakan formulir-formulir sebagaimana telah ditentukan dalam Peraturan Direktorat Jendral BIMAS tersebut. Formulir-formulir tersebut ada dalam pasal 2, sebagai berikut:

  1. Ikrar Wakaf menurut bentuk W.1
  2. Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.2
  3. Salinan Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.2a
  4. Surat Keterangan Kepala Desa tentang Perwakafan Tanah Milik menurut bentuk W.K
  5. Surat Pendaftaran Tanah Wakaf yang terjadi sebelum berlakunya PP Nomor 28 Tahun 1977 menurut bentuk W.D
  6. Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.3
  7. Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.3a
  8. Daftar Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.4a
  9. Daftar Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.4
  10. Surat Pengesahan Nadzir menurut bentuk W.5
  11. Buku catatan tentang keadaan tanah wakaf menurut bentuk W.6
  12. Buku catatan tentang pengelolaan dan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6a
  13. Buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6b
  14. Permohonan pendaftaran tanah wakaf menurut bentuk W.7

Pasal 9 dari PP No. 28 Tahun 1977 mengharuskan adanya perwakafan secara tertulis tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan, seperti untuk bahan-bahan pendaftaran pada kantor Sub. Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya dan bentuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tahan yang diwakafkan.

Pelaksanaan ikrar demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Saksi ikrar wakaf harus telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam melaksanakan ikrar tersebut maka pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW tersebut sebagimana yang tercantum dalam ayat (2):

  1. Sertifikat hak milik atau benda bukti pemilikan tanah lainnya.
  2. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sengketa.
  3. Surat keterangan pendaftaran tanah.
  4. Izin dari Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub. Direktorat Agraria setempat.

Sesaat setelah pelaksanaan ikrar, PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf dan salinannya. Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap 3 (tiga). Sedangkan salinan Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap 4 (empat):

  1. Salinan lembar pertama disampaikan kepada wakif.
  2.   Salinan lembar kedua disampaikan kepada nadzir.
  3. Salinan lembar ketiga disampaikan kepada Kandepag.
  4. Salinan lembar keempat dikirim kepada Kepala Desa/ Lurah.

Kemudian sebagaimana tercantum pada pasal 10 PP No. 28 Tahun 1977, setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan, maka PPAIW atas nama nadzir yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah melalui Kepala Sub. Direktorat Agraria setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut dalam suatu sengketa dan kemudian didaftarkan sebagai perwakafan tanah milik.

  1. Tata cara perwakafan selain tanah
  2. Wakaf Untuk barang bergerak selain uang

PPAIW mendaftarkan AlW dari:

  1. benda bergerak selain uang yang terdaftar pada instansi yang berwenang;
  2. benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar dari yang memiliki atau tidak memiliki tanda bukti pembelian atau bukti pembayaran didaftar pada BWI, dan selama daerah tertentu belum dibentuk BWI, maka pendaftaran tersebut dilakukan di Kantor Departemen Agraria setempat.
  3. Untuk benda bergerak yang sudah terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti kepemilikan benda bergerak kepada PPAIW dengan disertai surat keterangan pendaftaran dari instansi yang berwenang yang tugas pokoknya terkait dengan pendaftaran benda bergerak tersebut.
  4. Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran berupa faktur, kwitansi atau bukti lainnya.
  5. Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar dan tidak memiliki tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran, Wakif membuat surat pernyataan kepemilikan atas benda bergerak tersebut yang diketahui oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh instansi pemerintah setempat.
  6. Wakaf Untuk Uang
  7. LKS-PWU atas nama Nazhir mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.
  8. Pendaftaran wakaf uang dari LKS-PWU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada BWI untuk diadministrasikan.
  9. Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi pendaftaran wakaf uang diatur dengan Peraturan Menteri.

Perubahan dan pengalihan harta wakaf

Dalam pandangan fiqih, para ulama berbeda pendapat. Sebagian memperbolehkan dan sebagian yang lain melarang akan adanya perubahan dan pengalihan harta wakaf. Sebagian ulama Syafi’iyyah (ulama bermazhab Syaf’i) dan Malikiyah (ulama bermazhab maliki) berpendapat, bahwa benda wakaf yang sudah tidak berfungsi, tetap tidak boleh dijual, ditukar, atau diganti, atau dipindahkan. Karena dasar wakaf itu sendri bersifat abadi, shingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dimana dikatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.

Namun dilain pihak, benda wakaf yang sudah atau kurang berfungsi lagi dimana sudah tidak sesuai dengan peruntukan yang dimaksud si wakif, maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Tasaur, dan Ibnu Taimiyah berpendapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti atau memindahkan benda wakaf tersebut. Kebolehan itu baik dengan alasan supaya benda wakaf itu bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepentingan unum, khususnya kaum muslimin.

Ibnu Taimiyah membolehkan untuk mengubah atau mengalihkan wakaf dengan dua syarat :

  1. Penggantian karena kebutuhan mendesak, seperti kuda yang diwakafkan untuk perang, bisa dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa – apa yang dapat menggantikannya. Bila masjid rusak dan tidak mungkin digunakan atau diramaikan, maka tanahnya dapat dijual dan harganya dapat dipergunakan untuk membeli apa – apa yang dapat menggantikannya. Semua ini diperbolehkan, karena bila yang pokok (asli) tidak mencapai maksud, maka digantikan dengan yang lainnya.
  2. Penggantian karena kepentingan dan maslahat yang lebih kuat. Misalnya ada masjid yang sudah tidak layak guna bagi kaum muslimin setempat, maka boleh dijual dan digunakan untuk membangun masjid yang baru, sehingga kaum muslimin dapat menggunakan dan memaksimalkannya dengan maksimal.

Ibnu Qudamah, salah seorang pengikut madzhab Hambali dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan, apabila harta wakaf mengalami kerusakan hingga tidak dapat bermanfat sesuai dengan tujuannya, hendaknya dijual saja kemudian harta penjualannya dibelikan brang lain yang akan mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagaimana harta wakaf seperti semula.

Adapun yang diwakafkan untuk diproduksikan, apabila diganti dengan yang lebih baik, seperti wakaf rumah, kedai, kebun atau kampong yang produksinya kesil, maka ia diganti dengan apa yang lebih bermanfaat bagi wakaf itu.

Dalam Undang – undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :

Yang sudah diwakafkan dilarang :

  1. Dijadikan jaminan
  2. Disita
  3. Dihibahkan
  4. Dijual
  5. Diwariskan
  6. Ditukar, atau
  7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Namun, ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata tuang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’ah. Pelaksanaan ketentuan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

Namun, harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang – kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.

Dengan demikian perubahan atau pengalihan benda wakaf pada prinsipnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat – syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan – alasan sebagaimana yang telah ditentukan dengan Undang – undang yang berlaku. Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan benda wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan harta wakaf agar tidak menjadi tindakan – tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri. Sehingga wakaf tetap menjadi alternative untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat banyak.

Baca Juga: