Menu Tutup

Gono gini menurut Islam

Sejatinya, adanya pasal gono-gini dan banyak didukung oleh tidak sedikit dari kalangan ulama dan srjana muslim, itu memberikan jalan yang cukup luas bagi para kaum muslim Indonesia jika memang ingin melakukan gono-gini.

Akan tetapi mengerjakan sesuatu yang hukumya masih diperdebatkan sangat beresiko. Lebih-lebih resiko batin, yang selalu menggangu ketenangan hati dalam kaitan halal dan haram.

Dan sebagai muslim, tentu akan sangat jauh lebih baik jika ia mengerjakan sesuatu yang hukumnya tidak diperdebatkan, sehingga lahir ketenangan dalam menjalankan agama.

Karenanya penulis merasa perlu untuk menutup buku kecil ini denan kabar gembira, bahwa ada solusi yang disediakan oleh syariat ini bagia siapa yang ingin tetap melakukan gono-gini tapi tidak melanggar syariat.

Sejatinya masalah ini bisa saja dikompromikan dan bisa menjadi legal dalam pandangan syariah jika memang menuruti apa yang telah ditentukan dalam syariah.

Syariah tidak mengenal istilah harta bersama, akan tetapi syariah punya praktek legal jika memang terjadi percekcokan antara suami dan istri terkait harta bersama atau pembagian gono-gini ketika perceraian, yaitu dengan ash-shulhu [الصلح] (perdamaian).

Ash-Shulhu [الصلح] ialah perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih.

Allah SWT berfirman:

وَإنِ امْرأةٌ خَافتْ مِنْ ب عْ لهَا نشُوزا أوْ إعْراضًا  فلََ جُناحَ عَليْهِمَا أنْ يصْلحَا بَ يْ ن هُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيٌْْ وَأحْضِرَتِ الْْنْ فُسُ الشُّحَّ وَإنْ تُُْسِنوا وَتَ تَّ قُوا فإنَّ الَّلََّ كَانَ بَِا تَ عْمَلونَ خَب يًْا

“ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)” (An-Nisa’ 128)

Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya.

Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw :

عَنْ عَ مْرو بنِ عَوْفٍ المُزنُِّ عَنْ أبيهِ عَنْ جَ دِهِ أنَّ رسُولَ الَّلَِّ صَلى الَّلَُّ عَليْهِ وَسَلمَ قالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بيَْْ المُسْلِمِيَْ إلََّ صُلْحًا حَرمَ حَلََلًَ أوْ أحَلَّ حَرامًا

Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram“ (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Jadi ketika memang ada perceraian, kedua belah pihak; suami dan istri melakukan perundingan damai terkait harta bersama yang masing-masing merasa memiliki dengan praktek shulhu.

Dan tentu dilihat kadar usaha masing-masing, tidak mesti sama rata 50:50, tapi tergantung peran masing-masing dalam menghasilkan uang ketika masih dalam ikatan suami dan istri.

Dengan jalan ini tentu lebih selamat, tidak ada aturan syariah yang dilanggar dan tidak ada juga salah satu pihak yang dirugikan.

Tapi sayangnya, cara ini hanya bisa dilakukan jika terjadi cerai hidup, karena keduanya masih hidup maka sangat mungkin untuk melakukan perdamain. Tapi tidak bisa ini dilakukan jika terjadi cerai mati, kalau salah satu mati, siapa yang mau diajak berdamai?

Maka ketika mati, harta si mayyit yang ditinggal itu menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris dengan nilai-nilai faroidh yang sudah ditentukan oleh syariah.

Kalau memang begitu, ya buatlah perdamaian itu ketika kedua masih hidup. Jangan samai menunggu salah satunya meningeal yang akhirnya menjadi wajib membagikan harta tersebut secara faraidh.  Wallahu a’lam 

Sumber: Ahmad Zarkasih, Gono-Gini, Antara Adat, Syariat dan Undang-Undang, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018.

Baca Juga: