Menu Tutup

Hukum memilih pemimpin: Prinsip-prinsip memilih pemimpin dalam Islam, serta bagaimana sikap seorang Muslim terhadap pemerintahan yang tidak adil

Memilih pemimpin adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Pemimpin memiliki peran besar dalam menentukan arah dan kebijakan yang akan mempengaruhi kesejahteraan dan keadilan umat. Oleh karena itu, Islam sangat peduli dengan masalah kepemimpinan dan memberikan tuntunan yang jelas dan rinci tentang bagaimana seharusnya umat Islam memilih pemimpin yang sesuai dengan syariat Allah.

Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang hukum memilih pemimpin dalam Islam, prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam proses pemilihan, serta bagaimana sikap seorang Muslim terhadap pemerintahan yang tidak adil. Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi kita semua.

Hukum Memilih Pemimpin dalam Islam

Dalam pandangan Islam, hukum memilih pemimpin adalah wajib jika ada syarat-syarat tertentu yang terpenuhi. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil dari al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Salah satu dalil dari al-Quran adalah firman Allah Ta’ala:

وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

“Dan urusan mereka (umat Islam) adalah dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam harus melakukan musyawarah atau konsultasi dalam mengurus urusan mereka termasuk urusan kepemimpinan. Musyawarah adalah cara untuk mencari pendapat dan kesepakatan dari para ahli atau wakil-wakil umat tentang siapa yang layak menjadi pemimpin bagi mereka.

Selain itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam bukanlah hak mutlak atau warisan dari seseorang atau kelompok tertentu melainkan hasil dari pilihan umat secara kolektif.

Salah satu dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau:

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)

Hadits ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kelompok kecil pun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memiliki seorang pemimpin agar tercipta ketertiban dan kemaslahatan. Apalagi jika kelompok tersebut besar seperti negara atau komunitas maka tentu lebih diperlukan adanya seorang pemimpin yang dapat mengayomi dan membimbing mereka.

Dari kedua dalil di atas dapat disimpulkan bahwa hukum memilih pemimpin dalam Islam adalah wajib jika ada syarat-syarat tertentu yaitu:

1) Adanya kebutuhan untuk memiliki seorang pemimpin baik untuk menjaga agama maupun dunia.
2) Adanya calon-calon yang layak menjadi pemimpin baik dari segi akhlak maupun kompetensi.
3) Adanya proses musyawarah atau konsultasi antara para ahli atau wakil-wakil umat untuk menentukan siapa yang akan dipilih sebagai pemmimpin bagi mereka.
4) Adanya kesediaan dan ketaatan dari umat untuk mengikuti pemimpin yang telah dipilih sesuai dengan syariat Allah.

Jika syarat-syarat tersebut tidak ada atau tidak terpenuhi maka hukum memilih pemimpin dalam Islam adalah sunnah atau boleh jika ada manfaatnya atau mubah jika tidak ada manfaatnya atau makruh jika ada mudharatnya atau haram jika bertentangan dengan syariat Allah.

Prinsip-Prinsip Memilih Pemimpin dalam Islam

Dalam memilih pemimpin, umat Islam harus berpegang pada prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh al-Quran dan Sunnah. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:

1) Memilih pemimpin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتُمُ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya sebaik-baik orang yang kamu ambil sebagai pekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash: 26)

Ayat ini menunjukkan bahwa sifat kuat dan amanah adalah dua kriteria utama dalam memilih pekerja maupun pemimpin. Sifat kuat berarti memiliki kemampuan dan kompetensi untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin. Sifat amanah berarti memiliki kejujuran, integritas, loyalitas, dan tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan.

2) Memilih pemimpin yang adil dan bijaksana dalam mengurus urusan umat.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قال لا ينال عهدي الظالمين

“Dan (ingatlah) ketika Tuhan mencoba Ibrahim dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Tuhan berfirman: \”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.\” Ibrahim berkata: \”Bagaimana dengan keturunanku?\” Tuhan berfirman: \”Perjanjian-Ku tidak meliputi orang-orang yang zalim.\” (QS. Al-Baqarah: 124)

Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi imam atau pemimpin bagi manusia adalah tidak boleh zalim. Zalim berarti tidak adil dalam memberikan hak-hak orang lain maupun menuntut kewajiban-kewajiban mereka. Zalim juga berarti melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

3) Memilih pemimpin yang memiliki visi, misi, program, dan strategi yang jelas dan sesuai dengan syariat Islam serta kepentingan umum.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar; dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT menjadikan sebagian dari umat-Nya sebagai imam atau pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki visi yang jelas tentang tujuan dan misi yang ingin dicapai sesuai dengan ajaran Islam. Seorang pemimpin juga harus memiliki program dan strategi yang efektif dan efisien untuk mewujudkan visi dan misinya.

Sikap Seorang Muslim Terhadap Pemerintahan yang Tidak Adil

Dalam kondisi ideal, seorang Muslim diharapkan untuk taat dan loyal kepada pemimpinnya selama pemimpin tersebut tidak menyuruhnya melakukan maksiat kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)

Namun, bagaimana jika pemimpin tersebut tidak adil atau dzalim? Bagaimana sikap seorang Muslim terhadap pemerintahan yang tidak adil?

Dalam hal ini, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda tergantung pada tingkat kezaliman dan kemampuan umat untuk mengubahnya. Secara garis besar, ada beberapa sikap yang dapat diambil oleh seorang Muslim terhadap pemerintahan yang tidak adil yaitu:

1) Sabar dan berdoa agar Allah SWT mengganti pemimpin tersebut dengan pemimpin yang lebih baik.

Sikap ini dianjurkan jika kezaliman masih dalam batas toleransi atau jika umat tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا طاعة في معصية، إنما الطاعة في المعروف
“Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّهُ مَنْ رَأى مِنْ أميره شيئًا يكرهه فلْيصبر، فإنه من فارق الجماعة شبرًا فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
“Sesungguhnya barangsiapa melihat dari penguasanya sesuatu yang dibencinya maka hendaklah ia bersabar, karena barangsiapa meninggalkan jamaah sedikit saja maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Bukhari no. 7054)

2) Menasehati atau mengingatkan pemimpin tersebut agar kembali kepada kebenaran dan keadilan secara bijak dan santun.

Sikap ini dianjurkan jika umat memiliki akses atau kesempatan untuk berkomunikasi dengan pemimpin tersebut atau perwakilan-perwakilannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصلاة وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون
“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya serta mendirikan shalat; sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam harus melakukan musyawarah atau konsultasi dalam mengurus urusan mereka termasuk urusan kepemimpinan. Musyawarah adalah cara untuk mencari pendapat dan kesepakatan dari para ahli atau wakil-wakil umat tentang siapa yang layak menjadi pemimpin bagi mereka atau bagaimana cara memperbaiki keadaan.

Baca Juga: