Menu Tutup

Jual Rumah Apakah Wajib Mengeluarkan Zakat?

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan haul. Zakat merupakan bentuk ibadah sosial yang bertujuan untuk membersihkan harta, mengurangi kesenjangan sosial, dan menumbuhkan rasa solidaritas antar sesama muslim.

Namun, tidak semua jenis harta wajib dizakati. Menurut sebagian besar ulama, ada lima objek zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim, yaitu:

  1. Ternak (kambing, sapi, unta)
  2. Barang berharga (emas dan perak)
  3. Hasil tanaman (padi, jagung, gandum, dll)
  4. Buah-buahan (anggur, kurma)
  5. Harta modal dagang (barang yang diperjualbelikan)

Lalu bagaimana dengan rumah? Apakah rumah termasuk dalam objek zakat? Apakah uang hasil jual rumah wajib dizakati? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan antara menjual rumah dan jualan rumah.

Menjual rumah berarti seseorang menjual rumah yang ia miliki untuk keperluan pribadi atau keluarga, bukan untuk tujuan bisnis atau perdagangan. Rumah yang dijual bukanlah rumah yang dibeli dengan niat untuk diperdagangkan. Misalnya, seseorang menjual rumahnya karena ingin pindah ke tempat lain, atau karena membutuhkan uang untuk keperluan mendesak.

Jualan rumah berarti seseorang menjual rumah sebagai profesi atau bisnis. Rumah yang dijual adalah rumah yang dibeli dengan niat untuk diperdagangkan. Misalnya, seseorang menggeluti bisnis properti dan membeli rumah untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi.

Menurut sebagian besar ulama, menjual rumah tidak ada zakatnya. Hal ini karena rumah bukan termasuk dalam objek zakat yang lima seperti yang disebutkan di atas. Rumah adalah fasilitas penunjang hidup atau kebutuhan pokok yang bukan bisnis.

Adapun jualan rumah ada kewajiban zakatnya. Hal ini karena rumah termasuk dalam harta modal dagang yang wajib dizakati. Syarat barang menjadi wajib dizakati adalah ketika barang diniatkan untuk diperdagangkan.

Jadi, jika seseorang menjual rumah untuk keperluan pribadi atau keluarga, maka uang hasil jual rumah tidak wajib dizakati. Namun, jika seseorang menjual rumah sebagai profesi atau bisnis, maka uang hasil jual rumah wajib dizakati.

Lantas bagaimana cara menghitung zakat uang hasil jual rumah? Berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan?

Untuk menghitung zakat uang hasil jual rumah, kita perlu mengetahui dua hal: nisab dan haul.

Nisab adalah batas minimal kepemilikan harta yang wajib dizakati. Nisab untuk uang adalah senilai 85 gram emas murni. Jika seseorang memiliki uang lebih dari nisab tersebut, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya.

Haul adalah periode waktu kepemilikan harta yang wajib dizakati. Haul untuk uang adalah satu tahun hijriyah atau 354 hari. Jika seseorang memiliki uang lebih dari nisab selama satu tahun penuh tanpa berkurang di bawah nisab, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya.

Besarnya zakat uang hasil jual rumah adalah 2,5% dari total nilai uang tersebut. Misalnya, seseorang menjual rumah seharga Rp 1 miliar dan uang tersebut mencapai nisab dan haul, maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% x Rp 1 miliar = Rp 25 juta.

Namun, para ulama berbeda pendapat soal kapan waktu yang tepat untuk mengeluarkan zakat uang hasil jual rumah. Ada dua pendapat yang populer di kalangan ulama:

  1. Zakat harus dikeluarkan pada saat menerima uang hasil jual rumah, tanpa perlu menunggu satu tahun. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang bersabda: “Jika engkau membeli barang dagangan dengan emas atau perak, maka keluarkanlah zakatnya pada saat itu juga.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Pendapat ini juga dianut oleh sebagian sahabat Nabi SAW seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Muawiyah, dan juga Imam Zuhri dalam riwayat Imam Ahmad. Selain itu, Yusuf Qardhawi juga merupakan salah satu ulama kontemporer yang memperkuat pendapat ini.
  2. Zakat harus dikeluarkan pada saat genap satu tahun sejak transaksi jual beli rumah terjadi. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang bersabda: “Tidak ada zakat atas harta kecuali jika telah genap satu tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pendapat ini juga dianut oleh sebagian sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan juga Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad.

Kedua pendapat ini memiliki dalil dan argumentasi yang kuat. Oleh karena itu, sebaiknya kita menghormati perbedaan pendapat di antara para ulama dan mengikuti salah satu pendapat yang kita yakini lebih kuat atau lebih aman.

Baca Juga: