[otw_shortcode_dropcap label=”D” background_color_class=”otw-green-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]alam buku Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997, Vol 3 pada sub bab Khitan diterangkan sebagai berikut: Khitan (berasal dari akar bahasa Arab khatana-yakhtanu-khatnan, artinya memotong).
Secara terminologi pengertian khitan menurut Imam al-Mawardi, ulama fiqh Mazhab Syafi’i, khitan bagi laki-laki adalah memotong “Kulfah“, kulit yang membungkus bagian ujung dzakar, sehingga menjadi terbuka.
Hukum Berkhitan
Prof. Dr. Huzaemah Tahido menjelaskan perbedaan pendapat ulama mengenai hukum khitan, sebagai berikut:
Pertama. Ulama yang berpendapat bahwa berkhitan itu wajib dilakukan bagi anak laki-laki dan perempuan. Berkenaan dengan ayat Al-Qur’an, “.. hendaklah kamu mengikuti agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus).” Al-Qurthubi berkata, bahwa Qatadah pernah mengatakan, “(Ajaran Nabi Ibrahim dimaksud) adalah berkhitan.” Itu pula yang dipegang oleh sebagian ulama mazhab Maliki.
Para ulama lain yang berpendapat seperti itu juga adalah Imam Syafi‘i, dan segenap pengikut/ pendukungnya, demikian pula Imam Ahmad, menurut pendapat yang masyhur darinya. Itu pula yang menjadi inti pendapat Sahnun dari ulama mazhab Maliki.
Sedang Para ulama terdahulu yang berpendapat wajib khitan adalah ‘Atha’, yang mengatakan, “Jika ada orang yang sudah besar (tua) masuk Islam, maka tidak sempurna keislamannya kecuali jika ia berkhitan
Kedua, Mereka yang berpendapat bahwa khitan hukumnya sunah, baik bagi pria maupun wanita, adalah kebanyakan ahli ilmu (intelektual). Itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan sebagian pendukung/sahabat Imam Syafi‘i.
AlQurthubi berkata, “Menurut kebanyakan ulama kelompok ini, bahwa khitan termasuk sunah mu’akkadah, di samping merupakan fitrah Islam yang tidak leluasa bagi pria untuk meninggalkannya.”
Bahwa berkhitan hanya diwajibkan bagi kaum pria saja, sedangkan untuk kaum wanita hanya sunah dan makramah (kehormatan) saja. Pendapat ini dipegang oleh sebagian penganut dan pendukung ulama mazhab Syafi‘i.
Dalil Bagi Yang Mewajibkan Khitan
Mereka yang berpandangan bahwa hukum khitan itu wajib atas pria dan wanita; atau wajib bagi pria saja, berdalilkan:
Pertama, Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadis Kulaib kakek Utsaim bin Katsir, bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda kepadanya, “Lemparkanlah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.”
Kedua, Sesungguhnya qulfah (kuluf) adalah kulit yang menutupi hasyafah (pucuk zakar) itu dapat menahan najis di bawahnya, yang tentunya dapat menghalangi sahnya salat. Di samping akan menimbulkan bahaya secara medis, yakni kesehatan seseorang. Hal itu disebabkan bertumpuknya kotoran dan bakteri pada tempat (kuluf) tersebut.
Ketiga, Abu Hamid dan para pengikutnya, seperti alMawardy, berhujah, bahwa khitan adalah memotong salah satu anggota tubuh yang tidak dapat diganti dengan yang lain demi ta‘abbud (kepentingan beribadah semata) sehingga menjadi wajib hukumnya seperti wajibnya potong tangan dalam pencurian.
Keempat, Al-Mawardy mengatakan, “Khitan itu mengandung rasa sakit yang besar bagi diri seseorang. Yang seperti itu tidak disyariatkan kecuali pada salah satu dari tiga kepentingan berikut ini: (a) Demi kemaslahatan tertentu, (b) Atau sebagai siksaan, (c) Atau sebagai kewajiban (kemestian) Berkenaan dengan khitan, kedua poin pertama tidak dapat diterapkan, maka tinggallah yang ketiga, yakni, ditetapkannya khitan adalah sebagai suatu kewajiban.
Kelima, Al-Khaththaby yang juga berhujah bagi kewajiban berkhitan, mengatakan bahwa khitan termasuk syi‘ar (simbol kemuliaan) agama. Dengannya diketahuilah perbedaan Muslim dari kafir. Seperti itu pula yang pernah ditegaskan oleh Ibn Qudamah, yang mengatakan bahwa sesungguhnya khitan itu termasuk syi‘ar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib sebagaimana syi‘ar-syi‘ar yang lainnya.
Keenam, Diperkenankannya melihat aurat yang dikhitan dan bolehnya yang mengkhitan melihat aurat tersebut— padahal keduanya haram—menunjukkan, bahwa jika khitan tidak wajib, maka hal yang haram tersebut tidak diperkenankan.
Ibn Qudamah mengatakan, “Sesungguhnya menutup aurat itu hukumnya wajib. Seandainya berkhitan itu tidak wajib, maka tidak akan diperbolehkan merusak/menodai kemuliaan orang yang dikhitan dengan cara melihat auratnya.”
Al-Qadhy Ibn al-‘Araby mengatakan, “Sesungguhnya khitan itu menuntut untuk dibukanya aurat, padahal menutup aurat itu fardhu/wajib. Jika bukan merupakan suatu kefardhuan/kewajiban, maka tidak akan dirusak/dinodai aurat itu hanya demi menunaikan sesuatu yang sunah.”
Ketujuh, Al-Baihaqy mengatakan, “Yang terbaik adalah berhujjah dengan menggunakan hadis Abu Hurairah ra yang terdapat dalam Shahihayn secara marfu`, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Nabi Ibrahim as berkhitan ketika usianya mencapai delapan puluh tahun dengan qudum (kapak). Allah SWT berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.”
Ada riwayat yang sahih dari Ibn Abbas ra bahwa kalimat yang menjadi bahan ujian Allah terhadap Nabi Ibrahim as yang dijawabnya dengan sempurna adalah khishal al-fithrah, yakni, beberapa tanda kefitrahan atau kesucian, yang di antaranya adalah khitan.
Dalil Mereka Yang Tidak Mewajibkan Khitan
Para ulama yang berpendapat bahwa khitan itu tidak wajib, tetapi hanya sunah saja, baik untuk pria maupun wanita, atau sunah untuk wanita, berargumentasi dengan dalil-dalil berikut ini:
(1) Sabda Rasulullah Saw., “Khitan itu sunah bagi pria dan makramah (kehormatan/kemuliaan) bagi wanita.” Hadis ini, meskipun dari riwayat al-Hajjaj bin Arthah, tetapi masih ada syahid (penguat)nya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Musnad asy-Syamiyyin melalui riwayat Sa`id bin Basyir dari Qatadah, dari Jabir bin Zaid, dari Ibn Abbas r.a. Hadis tersebut pun diriwayatkan oleh Abu Syekh dan Imam Baihaki dari sanad lain, dari Ibn Abbas r.a. Di samping itu, Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits tersebut dari hadis Abu Ayyub.
(2) Kelompok ini juga berhujah untuk mengakui ketidakwajiban khitan dengan alasan bahwa beberapa karakter atau perbuatan yang tersusun bersama dengan khitan itu bukan perbuatan yang wajib. Maka, khitan pun tidak wajib.
Semua pendapat tersebut telah diungkapkan oleh Ibn Hajar dalam kitabnya, Fath al-Bary.
Cholil Nafis, “Fikih Keluarga Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah Keluarga Sehat, Sejahtera, dan Berkualitas”