Menu Tutup

Latar Sejarah Munculnya Pemikiran Fikih

Paling tidak ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya pemikiran fikih pada masa sahabat.ketiga faktor tersebut adalah akibat perluasan wilayah Islam, munculnya persoalan-persoalan baru dan terbatasnya teks-teks syari’at. Secara singkat beberapa faktor tersebut akan kita jelaskan pada pembahasan berikut ini:

  1. Perluasan wilayah Islam

Mencermati secara historis kondisi umat Islam pada era sahabat dengan aktivitas dan prilakunya di berbagai sektor kehidupan, terutama kaitannya dengan misi Rasulullah, maka secara simpatistik dapat dikatakan bahwa sahabat ternyata tidak saja berfungsi untuk mewarisi dan melestarikan tradisi rasulullah dalam aspek ibadah dan kehidupan keagamaan yang bersifat normatif, akan tetapi juga mengemban misi dakwah dan sosial kemasyarakatan yang lebih penting. Hal ini terlihat terutama setelah rasulullah wafat, banyak para sahabat yang melebarkan sayap dakwah islam tidak saja di semenanjung Arab akan tetapi melintasi kawasan asing lainnya seperti Persia, Mesir, Irak dan Sirya yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan imperium Romawi dan Persia.[3] Pada tahap tertentu kondisi ini membuka peluang terjadinya proses akulturasi dan asimilasi antar berbagai tradisi kawasan taklukan. Masyarakat islam berbaur dengan beragam etnis dan kebudayaan daerah tersebut. Persoalan-persoalan baru diberbagai bidang, mulai banyak dihadapi para sahabat.

Persoalan akibat perluasan Islam tersebut sangat dirasakan oleh umat Islam terutama ketika masa pemerintahan khalifah Uman Ibnu Khattab.[4] Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar, sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh islam. Ia mengendalikan penaklukan itu dari kota Madinah, sebagai pusat pemerintahannya.Sikap tegas dari sebagian sahabat yang dipelopori Umar ikut mewarnai berbagai kebijakan hukum terhadap persoalan baru tersebut, tidak terkecuali dalam persoalan-persoalan hukum. Karena kapasitas beberapa sahabat tidak saja sebagai prajurit perang, tapi juga sebagai pemberi fatwa dan hukum kepada umat, maka dalam beberapa kasus baru, banyak para sahabat memberikan fatwa hukum. Dengan beberapa statemen tersebut maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa ada korelasi positif antara perluasan wilayah islam dengan munculnya produk-produk fikih dari kalangan sahabat. Semakin luas wilayah kekuasaan Islam, maka semakin besar peluang munculnya produk-produk fikih pada era sahabat.

  1. Munculnya persoalan baru

Sebagai konsekwensi logis dari meluasnya kekuasaan Islam adalah munculnya persoalan-persoalan baru yang belum dihadapi oleh para sahabat sebelumnya. Persoalan baru yang cukup banyak dihadapi para sahabat akibat kontak dengan kebudayaan baru dikawasan taklukan itu, meliputi persoalan keluarga, militer, pemerintahan dan ekonomi serta hukum-hukum keperdataan lainnya. Kondisi seperti ini dengan sendirinya menimbulkan perubahan sosial yang cukup drastis pada masa itu,[5] yang pada keadaan tertentu jelas membutuhkan antisipasi legal. Karena perubahan sosial akan sangat berpengaruh terhadap munculnya satu persoalan baru dalam masyarakat. Sebagaimana yang disinyalir oleh Selo Sumarjan.

Persoalan baru yang dihadapi sahabat di berbagai kawasan, bisa jadi dapat diselesaikan dengan merujuk pada petunjuk-petunjuk al-quran dan tuntunan-tuntunan rasul, sepanjang dapat ditemukan. Namun bisa jadi persoalan lain tidak ditemukan secara tekstual dalam al-quran maupun tuntunan rasul yang mereka hafal, maka para sahabat mengambil inisiatif dengan melakukan ijtihad, baik dengan cara pertimbangan pribadi maupun dengan menempuh musyawarah (Ijma’). Pada kondisi inilah kemudian bermunculan produk-produk ijtihad para sahabat, yang dalam pembahasan ini dikategorikan sebagai fikih mazhab sahabat.

Agaknya, pada momentum itulah untuk pertama kalinya fikih Islam mulai bersentuhan dengan persoalan baru, yang mencakup penyelesaian atas masalah yang komplek berupa moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam satu format masyarakat yang bersifat fluralistik. Dalam pada itu agaknya juga situasi tersebut merupakan faktor terpenting yang ikut memberi andil besar bagi perkembangannya fikih Islam pada periode sahabat. Jika pada masa-masa awal dipusat kota Madinah fikih sahabat lebih berorientasi pada upaya interpretasi nash-nash al-quran dan al-sunah secara lafdzi (literal), maka pada era perluasan wilayah ini, fikih sahabat mulai berkembang merambah kawasan maknawi (kontektual). Karena pertimbangan terbatasnya nash-nash dan tuntunan persoalan praktis, maka para sahabat mulai melakukan penalaran hukum dengan cara menangkap semangat nash secara inplisit, terutama ketika mereka dihadapkan pada persoalan yang masih asing.

Para sahabat yang sebagian memiliki kapasitas pemahaman yang komprehensif terhadap al-quran dan al-sunnah terpaksa harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema dalam al-quran maupun al-sunnah untuk kemudian diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak dijumpai dalam ketentuan nash. Sebenarnya beberapa tema keagamaan yang bersifat mendasar seperti akidah, ibadah dan sebagian akhlak, sudah banyak diberikan pedoman secara jelas oleh Rasulullah, namun dalam bidang mu’amalah kemasyarakatan agaknya pedoman itu belum begitu rinci, bahkan bisa disebut tidak lengkap. Karena al-quran sendiri hanya memuat beberapa ayat saja mengenai mu’amalat[6] ini. dalam bidang mu’amalat Rasulullah hanya memberikan rambu-rambu umum, yang pada sisi lain sekaligus memberikan justifikasi untuk melakukan aktualisasi pengembangannya sesuai dengan kebutuhan hidup yang berkembang.[7] Kondisi ini semakin membuka jalan bagi munculnya ijtihad-ijtihad baru dikalangan sahabat. Inilah konsekwensi logis dari perluasan wilayah islam pada era sahabat. Satu sisi memperkuat kekuatan politik bagi otoritas islam diberbagai kawasan, di sisi lain sangat membantu memperkaya upaya rekonstruksi fikih pada masa sahabat.

Dalam persoalan yang lebih rinci dan praktis, konsekwensi logis dari perluasan kawasan islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan suku yang lain. Sebagian mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian lagi tetap pada agamanya. Ini merupakan satu perkembangan baru pada masa sahabat, sehingga dibutuhkan suatu aturan baru yang mengatur hubungan keragaman agama dan etnis tersebut. Para sahabat untuk yang ke sekian kalinya berusaha membuat format baru sebuah aturan yang menuntun secara islami bagaimana mengatur kemajemukan hidup seperti itu. Agaknya faktor-faktor itulah yang dianggap paling dominan mengapa muncul fikih-fikih dari para sahabat, sedemikian cepat dan berkembang.

  1. Terbatasnya Nash-Nash Syaria’at

Keterbatasan jumlah ayat-ayat hukum dalam al-quran dan hadis-hadis yang dihafal para sahabat, ternyata tidak menjadi alasan bahwa penalaran rasional dalam bidang fikih harus berhenti setelah wafat rasul. Pada sisi lain justru secara umum memberikan kelenturun yang menyebabkan fikih pada era sahabat menjadi berkembang, bahkan mampu mengimbangi dinamika masyarakat dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Syari’at islam yang menurut penelitian beberapa ulama ushul belakangan, pada umumnya hanya memuat aturan dasar yang bersifat global, justru secara inplisit mengisyaratkan untuk kerja keras melakukan penalaran dalam menyelesaikan masalah-masalah yang tidak ditegaskan secara tekstual dalam nash syari’at. Pandangan seperti ini ternyata sudah begitu kuat mendasari kreatifitas sahabat untuk melahirkan fikih-fikih baru pada konteks zamannya. Agaknya faktor ini pun tidak kalah pentingnya sebagai motivasi yang melahirkan/memunculkan fikih-fikih dari kalangan sahabat.

Fikih dalam mazhab sahabat sebagai hasil ijtihad, biasanya dihasilkan dari proses musyawarah dan kesepakatan sebagian sahabat, yang dalam kajian rasul disebut dengan ijma’. Keabsahan hasil ijtihad yang bersifat kolektif ini dianggap lebih tinggi dari pada hasil ijtihad sahabat yang bersifat pribadi (fardi). [8] Akan tetapi kondisi ini tidak bisa berlangsung lama, apalagi ketika kekuasaan islam samakin bertambah luas pada masa sahabat, maka kesepakatan bulat dan musyawarah untuk menentukan satu hukum tidak mungkin lagi dilakukan. Akhirnya masing-masing sahabat melakukan ijtihad sendiri-sendiri sesuai dengan kadar persoalan yang dihadapi mereka.[9] Kondisi ini semakin memperbesar munculnya fikif-fikih baru dikalangan sahabat.

Baca Juga: