Menu Tutup

Suara Wanita Menurut 5 Mazhab

Jumhur ulama memang telah sepakat bahwa suara wanita itu sendiri bukan termasuk aurat. Sehingga seorang laki-laki atau siapun boleh-boleh saja mendengar suara wanita atau berbicara dengan wanita.

Namun tentu saja bila dalam bersuara itu para wanita melakukan rayuan, atau mendesahdesahkan suaranya, apalagi bergoyang pinggul yang akan melahirkan birahi para lelaki, sampailah kepada keharamannya. Sebab itu sudah merupakan bagian dari fitnah wanita. Jadi yang mengharamkan suara wanita, karena di balik itu ada fitnah dan madharat yang hendak dijauhi.

Para ulama berselisih tentang kapan dan di mana saja suara wanita ini akan menjadi aurat. Marilah sejenak kita simak pendapat para ulama dari setiap maazhab.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :

وَهَذَا يُفِيدُ أَنَّ الْعَوْرَةَ رَفْعُ الصَّوْتِ الَّذِي لََ يَخْلُو غَالِبًا عَنْ النَّغْمَةِ لََ مُطْلَقِ الْكَلََمِ فَلَمَّا كَانَتْ ا لْقِرَاءَةُ لََ تَخْلُو عَنْ ذَلِكَ قَالَ أَحَبُّ إ يلََّ فَلْيُتَأَمَّلْ .

bahwasanya suara wanita menjadi aurat ketika (dinikmati oleh laki-laki), dan tidak termasuk aurat ketika hanya sekedar mengucapkan perkataan biasa. 

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab AlMalikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah  menuliskan sebagai berikut :

قَالَ إِذَا نَابَ أَحَدَكُمْ  يفِ صَلََتِهِ  يشَْءٌ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّ التَّسْبِيحَ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقَ لِلنِّسَاءِ فَمَنَعَ من صَوتهَا لَِِنَّ هَا عَوْرَةٌ .

Jika salah seorang dari kalian ingin mengingatkan imam dalam shalat maka tasbih untuk laki-laki dan tepukan untuk perempuan, dan dilarang bagi perempuan mengingatkan dengan suaranya karena suara perempuan adalah aurat. 

Al-Hathab Ar-Ru’aini (w. 954 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitabnya Mawahibul Jalil menuliskan sebagai berikut :

Jika seorang perempuan shalat sendirian, maka iqamah boleh baginya, malah dianjurkan. Dan bukan berhukum sunnah seperti yang terjadi dikalangan laki-laki. Sedangkan jika dalam shalat berjamaah, maka cukup dg iqamah mereka (lakilaki), dan tidak boleh yang iqamah dalam jamaah seorang wanita karena suaranya adalah aurat. 

Al-Kharasyi  (w. 1011 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Syarhu Mukhtasor Kholil  menuliskan sebagai berikut :

قَوْلُهُ: لَِِنَّ صَوْتَهَا عَوْرَةٌ( الْمُعْتَمَدُ كَمَا أَفَادَهُ النَّاصُِِ اللَّقَا يتِِّ  يفِ فَتَاوِيهِ وَشَيْخُنَا الصَّغِريُ أَنَّهُ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ وَنَصُّ النَّاصِِِ رَفْعُ صَوْتِ الْمَرْ أَةِ الَّ ينِ يُخْ شَ التَّلَذُّذُ بِسَمَاعِهِ لََ يَجُوزُ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ لََ  يفِ الْجِنَازَةِ وَلََ  يفِ الَِْعْرَاسِ سَوَاءٌ كَانَ زَغَارِيتَ أَمْ لََ وَرُؤْيَةُ مَنْ يُخْ شَ مِنْهَا الْفِتْنَةُ حَرَامٌ، وَأَمَّا الْقَوَاعِدُ مِنْ النِّسَاءِ فَ لََ يَحْرُمُ سَمَاعُ أَصْوَاتِهِنَّ وَأَمَّا مُصَافَحَةُ الْمَرْأَةِ لِغَريِْ الْمَحْرَمِ فَلََ يَجُوزُ وَاَلَّلَُّ أَعْلَمُ .

perkataannya: karena suaranya(perempuan) aurat) pendapat yang kuat dalam madzhab kami seperti yang disampaikan oleh An Nasir Al laqqani dalam fatwa mereka, juga apa yang disampaikan oleh syaikh kami, bahwa suara seorang perempuan bukanlah aurat. 

3. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut

Qadhi Husain berkata apakah suara wanita termasuk aurat? ada dua pendapat dan yang benar menurut pendapat kami bahwasanya itu bukan aurat.

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi’iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut:

ثُمَّ إنَّ صَوْتَ الْمَرْأَةِ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ

Suara wanita bukan aurat. 

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitab AlMinhaj Al-Qawim menuliskan sebagai berikut :

أَمَّا مُشْتَهَاةٌ لَيْسَ مَعَهَا امْرَأَةٌ أُخْرَى فَيَحْرُمُ عَلَيْهَا رَدُّ سَلََمِ أَجْنَ ينٍِّ وَمِثْلُهُ ابْتِدَاؤُهُ، وَيُكْرَهُ لَهُ رَدُّ سَلََمِهَا وَمِثْلُهُ ابْتِدَاؤُهُ أَيْضًا

Sedangkan wanita yang suaranya mengundang syahwat, maka ketika ia berjalan sendiri haram baginya mengucapkan juga menjawab salam  laki-laki kepada laki-laki asing. Adapun bagi laki- laki asing tersebut, makruh baginya mengucapkan juga menjawab salamnya. 

4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

مسألة: قال: )ولا ترفع المرأة صوتها بالتلبية، إلا بمقدار ما تسمع رفيقتها( وروي عن سليمان بن يسار أنه قال: السنة عندهم أن المرأة لا ترفع صوتها بالْهلال. وإنما كره لها رفع الصوت مخافة الفتنة بها، ولهذا لا يسن لها أذان ولا إقامة ،والمسنون لها  يف التنبيه  يف الصلاة التصفيق دون التسبيح .

Dan janganlah seorang wanita meninggikan suara ketika talbiyah. kecuali dengan kadar apa yang bisa didengar oleh teman disampingnya. seperti yang diriwayatkan Sulaiman bin Yasar dia berkata: sunah bagi mereka adalah janganlah seorang wanita, meninggikan suaranya dengan ihlal. Dan makruh baginya dikarenakan takutnya terjadi fitnah. dan oleh karena itu hal ini juga tidak disunahkan bagi seorang wanita dalam adzan dan iqamah. dan disunatkah baginya tasbih dan tepuk tangan hanya sebagai pengingat dalam sholat . 

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati  Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

menurutnya suara wanita itu aurat. pendapat ini juga dipilih oleh ibnu aqil, ia berkata: wajib bagi seorang wanita untuk menjauh dari orang lain agar suaranya tidak di dengar kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak, karena suara wanita itu aurat. 

5. Mazhab Azh-Zhahiriyah

Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :

Dahulu para shahabat juga mendengarkan suara dari ummahat al-mukminin, dan hal itu tidaklah masalah. Banyak diriwayatkan hadits dari mereka padahal mereka masih berusia sekitar 20 tahunan atau lebih dikit. 

Wallahu’alam.

Sumber: Aini Aryani, Traveling Tanpa Mahram, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019

Baca Juga: