Menu Tutup

Syariat dan Fikih

Dalam fakultas hukum di beberapa universitas banyak yang beranggapan bahwa syariat dan fikih adalah sinonim. Syariat adalah fikih, dan fikih adalah syariat. Padahal, keduanya bukan sinonim. Ruang lingkup syariah lebih luas dibanding fikih, dan istilah ini lebih dahulu dikenal dalam bahasa arab[1] jauh-jauh hari sebelum muncul istilah fikih. Adapun yang dimaksud dengan syariat adalah segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah SWT.[2] Kepada umat islam dalam bentuk agama, baik[3] melalui Al-quran atau dengan sunnah[4] Rasul yang berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau. Jadi, merujuk pada devenisi ini maka syariat mencakup ushuluddin, yaitu segala yang berkaitan dengan Allah, sifat-sifatnya, hari akhir dan lain sebaginya yang dibahas dalam ilmu tauhid dan ilmu kalam.

Selain dua hal diatas syariat juga meliputi hukum-hukum Allah  atas perbuatan kita yang mencakup halal, haram, makruh, mandub, atau sunnah dan ibadah.5 Salah seorang ulama yang berkecimpung dalam menganalisa istilah-istilah dalam ilmu yaitu Muhammad Ali At-Tahanawi mengatakan syariat[5] adalah segala sesuatu yang disyariatkan Allah untuk hambanya yang nerupa hukum yang dibawa oleh Rasulullah SAW[6]. Baik itu berkaitan dengan tata cara perbuatan dan disebut dengan cabang dan tindakan. Sedangkan dalam pandanga Abu Ishak Asy-Syathibi beliau membedakan antara syariat dan fikih dalam pengantar beliau yang ke-10 dalam hukumnya AlMuwafakat Fi Ushul Asy-Syariah. Mengatakan bahwa syariat adalah sesuatau yang membatasi para mukalaf, baik dalam perbuatan, perkataan, dan keyakinan mereka.

Dengan demikian[7], fiqih[8] cakupannya lebih sempit dibanding syariat sebab fikih merupakan bagian dari cakupan syariat. Diantara ulama10 tersebut sayyid syarih al[9][10]-jurjani dalam kitabnya At-Ta‟rifat mengatakan fikih secara bahasa adalah memahami tujuan perkataan si pembicara. Menurut istilah, fikih diartikan sebagai ilmu11 tentang hukum syariat yang bersifat amaliyah yang diambil dari terperinci. Ia merupakan ilmu dari hasil pemikiran dan ijtihad.12 Setelah pemaparan para ulama tentang devenisi fiqih, At-Tahanawi menuturkan bahwa kalangan Syafi‟iya mendevenisiskan fikih dengan ilmu tentang hukum syariah  yang bersifat amaliya dan membaginya menjadi 4 bagian.

Ungkapan bahwa ibadah hanya berkaitan dengan urusan akhirat perlu ditelaah lagi. Sebab ibadah memiliki dampak yang luar biasa baik individu maupun masyarakat13 dalam kehidupan ini. Ritual shalat[11] yang mengikuti gerakan-gerakan shalat, serta ritual yang dilakukan sebelum shalat seperti mandi dan berwudhu didalamnya bermanfaat bagi kesehatan tubuh serta pendidikan jiwa.

Sebelumnya telah kami katakan bahwa bahasa arab jauh lebih dahulu

mengenali istilah “syariat” dibandingkan dengan istilah “fikih”. Sementara itu, istilah fikih belum dikenal oleh bahasa arab dengan maknanya sebagaimana yang sekarang ini melainkan jauh-jauh hari setelah munculnya islam. Setelah itu, Ibnu Khaldun menunuturkan bahwa mereka[12] yang mampu mengeluarkan hukum[13] dari dalil-dalil[14] tersebut pada awal munculnya islam dinmakan “Qurra” untuk membedakan dari mereka yang tidak bisa membaca Al-quran, dimana dahulunya orang arab adalah umat buta huruf sebagaimana yang kita ketahui.

[1] Muhammad Iqbal Dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, 2010, H.172

[2] Abu Yasid, Fikih Tasawuf, Erlannga, Jakarta, H.5.

[3] Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Pt Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, H,1

[4] Abdul Wahhab Khallaf,Kaidah-Kaidah Hukum Islam,Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, H.46 5 Salman Al-Audah, Bersama Imam Mazhab, Mutiara Publishing, Jakarta, H.4.

[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2001,H.32.

[6] Ja‟far Subhani, Yang Hangat Dan Kontroversial Dalam Fiqih, Pt Lentera Basritama, Jakarta, 2002,

H.266

[7] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, Gema Insani, Jakarta, 2007, H.40

[8] Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Quran Dan Sunnah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2000, H.74

[9] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih,Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, H.127 11 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, H.234 12 Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005, H. 3.

[10] Chairuman Pasaribu Dan Suhrawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika,

Jakarta, 1996, H.37

[11] M.Hasbih Ash Shiddieqy, Kriteria Antara Sunnah Dan Bid’ah, Bulan Bintang, Jakarta, H.60

[12] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2002, H.114

[13] Abdul Halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, Ciputat Press, Ciputat, 2005, H. 43

[14] Thaha Jabir Fayyaadh Al-Alwani, Etika Berbeda Pendapat Dalam Islam, Pustaka Hidayah, Bandung, H.43

Sumber:

Ilmu Fiqih: Suatu Pengantar Dialektika Konsep Klasik dan Kontemporer/ oleh Agus Muchsin- Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Government Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (JKSG-UMY), 2019.

 

Baca Juga: