Kalau beragama kita maknai sebagai memeluk, meyakini dan menjalankan ajaran-ajaran agama, maka bermadzhab bisa juga kita maknai sebagai memeluk, meyakini dan menjalankan ajaran-ajaran madzhab. Dan dalam Islam, bermadzhab bagian dari beragama.
Kalau madzhab -seperti yang kita pahami dari definisinya- adalah pandangan ijtihadi baik individual maupun kolektif, maka bermadzhab juga harus dimaknai dari dua ranah ini.
Pada saat para ulama mujtahid -seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad- menyimpulkan satu pandangan hukum, kemudian meyakininya dan mengamalkannya, maka mereka sedang bermadzhab dengan madzhabnya masingmasing.
Karena merekalah mujtahidnya, maka yang semacam ini tidaklah disebut sebagai taqlid. Bahkan taklid itu haram bagi mujtahid. Tapi kalau yang membaca dan mempelajari kesimpulan mereka adalah orang lain dan kemudian orang lain tersebut meyakini dan mengamalkannya, maka bermadzhab seperti ini disebut sebagai taqlid.
Atau bagi yang sampai mengetahui dalil-dalilnya, bermadzhab dengan pengetahuan ini oleh sebagian ulama seperti ibnu abdil barr, ibnul Qayyim, dan lainlain disebut sebagai ittiba.
Terlepas dari adanya perbedaan tentang perlunya membedakan antara pengikut yang mengetahui dalil dan yang tidak, mempelajari madzhab fiqih sampai pada detail dengan dalil-dalilnya akan menambah nilai. Setidaknya dari sisi pahala juga bisa jadi berbeda.
Akan tetapi hampir semua ulama ushul fiqih memang hanya membagi dua kelompok muslim dalam mengamalkan agama ini. Kalau sanggup memenuhi kualifikasinya, maka silahkan bergabung dalam kelompok mujtahid. Tapi kalau tidak sanggup, maka akuilah bahwa levelnya memang masih muqallid.
Karenanya ketika kita membahas bermadzhab, itu artinya kita membahas taqlid. Sampai-sampai Ensiklopedi Fiqih Kuwait pun, pada saat kita telusuri entri madzhab di dalamnya, malah meminta kita untuk melihat saja entri taqlid.
Terkait taklid dan bermadzhab ini, ada satu penjelasan menarik yang disampaikan oleh
Jalaluddin Al Mahalli pada saat mengomentari kitab jimjim (jam’ul jawami’)nya As Subki. Penjelasan atau komentar Al Mahalli tersebut menyatu dengan redaksi As Subki.
“Pendapat yang lebih sahih adalah wajib hukumnya bagi orang awam dan lainnya yang belum sampai level ijtihad, untuk bermadzhab dengan salah satu madzhab tertentu dari madzhab-madzhab para mujtahid yang diyakini lebih unggul dari yang lain atau setara dengannya”
Sebenarnya Al Mahalli sedang bicara tentang konsistensi dalam satu madzhab. Akan tetapi kalau kita perhatikan penjelasan diatas, Al Mahalli menyebutkan ada dua kelompok yang wajib untuk bermadzhab; pertama, awam dan kedua, non awam yang belum sampai level ijtihad. Dan penyebutan dua kelompok inilah yang perlu kita soroti.
Karena bermadzhab bagi awam akan dibahas secara tersendiri dalam pembahasan berikutnya, maka pembahasan tentang bermadzhab sekarang adalah untuk yang non awam tapi belum sampai level ijtihad. Dan hukumnya -seperti disebutkan Al Mahalli diatas- adalah sama-sama wajib.
Kalau kita lihat level-level mujtahid yang berada di bawah mujtahid mutlak mustaqil, hampir semuanya berafiliasi dengan madzhab tertentu. Artinya mereka semua itu bermadzhab. Sehebat apapun Qadhi Yusuf, beliau bermadzhab Hanafi. Begitu juga Al Muzani, dengan kehebatannya dalam ilmu fiqih beliau tetap bermadzhab syafi’i.
Padahal mereka sangat tahu, taklid bagi mujtahid adalah haram. Ini menunjukkan bahwa mereka menyadari dalam diri mereka masih terdapat ruang kosong yang belum sepenuhnya terisi oleh perangkat ijtihad, sehingga masih ada kewajiban taklid dalam porsi tertentu. Dan mereka benar-benar melakukannya. Karena kewajiban taklid -seperti dalam penjelasan Al Mahalli tadi- adalah juga bagi non awam yang memang belum sampai level ijtihad paling puncak.
Bahkan Ibnu Rusyd dalam ringkasannya terhadap Al Mustashfa menceritakan bahwa ada sekelompok orang yang berani-beraninya melakukan qiyas terhadap teks-teks fuqaha padahal mereka belum sampai pada levelnya.
Menurut Ibnu Rusyd, meskipun mereka bisa dengan mudah mengakses kitab-kitab para fuqaha, akan tetapi akan lebih baik jika mereka hanya mencukupkan diri pada menyampaikan nukilan saja. Karena dengan qiyas yang sebenarnya salah tersebut, mereka tampak seperti mujtahid padahal mereka hanyalah kelompok awam juga.
Yang seperti mereka tentu saja harus taklid dan bermadzhab sesuai levelnya. Cukup bagi mereka untuk sekedar menukil saja. Tidak lebih. Karena kehebatan menukil, tetap tidak akan menaikkan levelnya.
Sumber: Sutomo Abu Nashr, Madzhabmu Rasulullah? Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Indonesia, 2018