Menu Tutup

Riya yang Membuat Amalan Ditolak

Riya’ itu lawan ikhlas, yaitu mengerjakan amal baik atau ibadah, namun muncul dalam diri ingin dipuji orang lain.

Dalam bahasa Arab, arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ (راءى) yang bermakna “memperlihatkan”.

Dalam bahasa “gaul”, riya’ semakna dengan narsis karena lazimnya narsisme itu ditunjukkan kepada orang lain agar mendapat pujian.

Banyak orang memamerkan amal kebaikannya di media sosial. Sadar atau tidak sadar, hal itu berpotensi riya’. Maka, jangan pernah pamer amal baik di media sosial jika tidak ingin pahalanya hilang.

Pengertian Riya’

Secara harfiyah, riya’ dari raa-a yuraa-i ru’yah, artinya penglihatan. Maknanya adalah melakukan amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji.

Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni agar orang lain mendengar yang kita lakukan lalu kita pun dipuji.

Ulama mendefiniskan riya’ adalah menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada mereka.

Ciri orang riya’ antara lain bila ia giat beribadah di hadapan orang, tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian orang lain.

Amal ibadah orang yang riya’ sia-sia belaka

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia” (QS. Al-Baqarah:264).

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya” (QS. Al-Maa’uun:4-6).

Riya’ membuat amal sia-sia sebagaimana syirik. (HR. Ar-Rabii’). Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim).

Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya kepada sesama manusia. Pada asalnya riya’ adalah menginginkan kedudukan di hati manusia. (Imam Al-Qurthubi).

Riya’ muncul setelah atau sebelum suatu ibadah dilakukan. Imam Ghozali mengatakan, bila di dalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai. Namun, bila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya kepada orang lain, maka hal ini ‘berbahaya’ (Ihya Ulumudin).

“Barangsiapa yang kebaikannya membuat dia senang serta kejelekannya membuat dia sedih, maka dia adalah seorang mu’min (sejati).” (HR. Tirmidzi). Wallahu a’lam.*

(*)

Baca Juga: