Menu Tutup

Batasan Aurat Muslimah

Berikut ini adalah beberapa batasan aurat wanita yang harus diperhatikannya.

1. Di dalam Shalat

Para ulama telah bersepakat bahwa hukum menutup aurat ketika shalat adalah wajib, berdasarkan dalil:

خذوا زي نتكُ عند ك مسجد

pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. (QS Al-A’raf :31)

Menurut Ibnu ‘Abas yang dimaksud dengan zinah dalam ayat tersebut adalah pakaian shalat.[1] Juga hadits nabi s.a.w:

Allah tidak menerima shalatnya seorang perempuan yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan khimar (penutup kepala). (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Imam  Asy-Syilbi  dalam Hasyiyahnya menjelaskan syarat pakaian shalat bagi seorang wanita, yaitu tidak tipis dan transparan sehingga memperlihatkan aurat dibalik pakaian tersebut.  Adapun untuk laki-laki, mazhab Maliki memandang bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya sunah, menurut mazhab ini kata zinah dalam ayat diatas berarti pakaian. 

Selain itu terdapat hadits yang menceritakan bahwa rasulullah dan para sahabat shalat, sedangkan mereka hanya mengenakan kain yang diikatkan dileher mereka, dan mereka melarang para wanita untuk bangkit dari sujud sampai para sahabat menyempurnakan duduk mereka, hal ini untuk menghindari terlihatnya aurat para sahabat.3

2. Di depan laki-laki asing

Mayoritas ulama bersepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat didepan laki-laki asing yang bukan mahramnya, kecuali muka dan telapak

  • Tabyinul Haqaiq 1/95
  • Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Hal 98

tangan dengan syarat aman dari fitnah, berdasarkan dalil:

ولا يبدين زينتهن  الا ما ظهر منَّا

“Dan janganlah mereka (para perempuan) menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang Nampak darinya.” (Qs. An-Nur:31)

Hadits Asma binti Abu Bakar:

آنها دخلت علَّ رسول الله ﷺ وعليْا ثياب رقاق فأ عرض عنَّا. وقال: يَ  آسماء  ان المر آة  اذا بلغت المحيض لم تصلح  آن يرى منَّا  الاهذاوهذا. و آشار  الَ وجْه و كفيه

Bahwasanya ia pernah menemui rasulullah s.a.w dengan mengenakan pakaian yang tipis, kemudian beliau berpaling darinya dan berkata: Wahai Asma, sesungguhnya seorang perempuan jika telah baligh tidak boleh nampak darinya ini dan ini, seraya menunjuk muka dan telapak tangannya. (HR Abu Daud)

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menerangkan sebab pengecualian muka dan telapak tangan, bahwa dalam beberapa kondisi seperti akad jual beli dan persaksian, seorang perempuan perlu memperlihatkan mukanya sebagai tindakan preventif dari kecurangan.[2]

Adapun imam Abu Hanifah memandang bahwa telapak kaki bukanlah aurat, karena menurut beliau telapak kaki merupakan anggota tubuh yang biasa terlihat.[3] Sedangkan Ibnu ‘Abidin, seorang ulama dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa punggung telapak tangan adalah aurat, karena telapak tangan diartikan hanya bagian dalamnya saja dan tidak mencangkup punggung telapak tangan.[4]

3. Di depan wanita non muslimah

Jumhur fuqaha selain mazhab hanbali bersepakat bahwasanya batasan aurat muslimah didepan wanita non muslimah seperti batasan didepan laki-laki asing yang bukan mahramnya. Berdasarkan dalil:

ولا يبدين زينتهن  الا ما ظهر منَّا  الا لبعولتهن… آو نسا ئِن

Dan mereka (para wanita) tidak diperbolehkan menampakkan perhiasan mereka kecuali yang nampak darinya, kecuali didepan suami-suami mereka… atau wanita-wanita mereka. (Qs. An-Nur:31) 

Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita mereka adalah wanita-wanita muslimah.

Selain berdalih dengan ayat diatas, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khatab r.a melarang para wanita dari kalangan ahlul kitab untuk memasuki kamar mandi bersama wanita muslimah.

Namun beberapa ulama syafi’iyah membolehkan seorang wanita non muslimah untuk melihat aurat wanita muslimah ketika mereka bermitra dalam sebuah pekerjaan, karena pada dasarnya mereka satu jenis, dengan syarat tidak melebihi batasan aurat muslimah didepan wanita muslimah lainnya.[5]

Pendapat ini juga ambil oleh mazhab Hanbali, dalam madzhab ini batasan aurat sesama wanita sama dengan batasan aurat sesama laki-laki.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menerangkan bahwa dahulu para istri nabi sering didatangi wanita-wanita yahudi dan wanita-wanita non muslimah lainnya, dan mereka tidak berhijab didepan wanita-wanita tersebut.[6]

4. Di depan wanita muslimah

Adapun batasan aurat sesama muslimah menurut para ulama adalah sama dengan batasan aurat sesama laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut, hal ini karena tidak ada hal yang membedakan antara keduanya dan umumnya tidak menimbulkan syahwat.

Namun jika dirasa tidak aman dari fitnah dan syahwat maka hukum melihatnya adalah haram.[7]

5. Di depan mahramnya

Yang dimaksud dengan mahram adalah yang haram dinikahi baik dari sisi keturunan (hubungan darah), ikatan pernikahan, ataupun persusuan.

Menurut madzhab Maliki dan Hanbali aurat seorang wanita didepan mahramnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, kepala, tangan, dan kaki. Jadi, dalam kondisi apapun seorang wanita tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya kecuali yang telah disebutkan diatas, walaupun tidak mengundang syahwat.

Namun Abu Ya’la dari madzhab Hanbali mempunyai pandangan yang berbeda, menurut beliau batasan aurat seorang wanita dengan mahramnya seperti batasan antara laki-laki dengan laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut.[8]

Sedangkan menurut Madzhab Hanafi aurat seorang wanita didepan mahramnya adalah antara pusar dan lutut, punggung dan perut. Namun ketika dirasa aman dari fitnah dan syahwat, madzhab ini tidak membolehkan mahramnya untuk melihat antara pusar dan lutut.

Pendapat ini didasarkan pada penafsiran surat An-Nur, ayat 31:

ولا يبدين زينتهن  الا ما ظهر منَّا

Makna ziinah dari ayat diatas bukanlah perhiasan, tapi anggota tubuh yang dipakaikan atas perhiasan tersebut, karena melihat perhiasan tidak dilarang. Sebagaimana kepala dipakaikan diatasnya mahkota, leher dan dada dipakaikan kalung, dan anggota tubuh lainnya. Sedangkan punggung, perut dan paha tidak ada perhiasan yang dipakaikan diatasnya, maka ia termasuk aurat.[9]

Madzhab Hanafi menambahkan alasannya, bahwa jika melihat kepada anggota tubuh antara pusar dan lutut saja dilarang maka melihat punggung dan perut lebih utama.

Sedangkan madzhab Syafi’i dalam masalah ini mempunyai dua pendapat. Pendapat yang pertama menyebutkan batasannya antara pusar dan lutut, sedangkan pendapat yang kedua membolehkan seorang laki-laki mahramnya untuk melihat auratnya bagian tubuh yang biasa terlihat didalam rumah seperti kepala, leher, tangan hingga siku, dan kaki hingga lutut.

Namun jika mahramnya adalah seorang laki-laki kafir maka ia tetap dianggap seperti saudaranya, dengan dalil hadits Ummu Habibah ketika Abu Sufyan mendatanginya dirumah rasulullah s.a.w ia tidak mengenakan hijab, dan beliau tidak mengingkari sikap Ummu Habibah.

[1] Ad-Dar Al-Mantsur 3/440

[2] Imam Nawawi, Al-Majmu’ 3/173

[3] Bada’i Shana’i 6/2956

[4] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 1/405

[5] Mughni Al-Muhtaj 3/131

[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughni 7/105

[7] Al-Syarh Al-Shagir 1/288, Mawahibul Jalil 1/498, Al-Mughni 7/105

[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni 7/98

[9] Tabyinul Haqaiq 6/19

Sumber: Nur Azizah Pulungan, Pakaian Syar’i : Harus Segitunya Kah? Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

Baca Juga: