ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منَّا الا لبعولتهن… آو نسا ئِن
Dan mereka (para wanita) tidak diperbolehkan menampakkan perhiasan mereka kecuali yang nampak darinya, kecuali didepan suami-suami mereka… atau wanita-wanita mereka. (Qs. An-Nur:31)
Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita mereka adalah wanita-wanita muslimah.
Selain berdalih dengan ayat diatas, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khatab r.a melarang para wanita dari kalangan ahlul kitab untuk memasuki kamar mandi bersama wanita muslimah.
Namun beberapa ulama syafi’iyah membolehkan seorang wanita non muslimah untuk melihat aurat wanita muslimah ketika mereka bermitra dalam sebuah pekerjaan, karena pada dasarnya mereka satu jenis, dengan syarat tidak melebihi batasan aurat muslimah didepan wanita muslimah lainnya.[5]
Pendapat ini juga ambil oleh mazhab Hanbali, dalam madzhab ini batasan aurat sesama wanita sama dengan batasan aurat sesama laki-laki.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menerangkan bahwa dahulu para istri nabi sering didatangi wanita-wanita yahudi dan wanita-wanita non muslimah lainnya, dan mereka tidak berhijab didepan wanita-wanita tersebut.[6]
4. Di depan wanita muslimah
Adapun batasan aurat sesama muslimah menurut para ulama adalah sama dengan batasan aurat sesama laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut, hal ini karena tidak ada hal yang membedakan antara keduanya dan umumnya tidak menimbulkan syahwat.
Namun jika dirasa tidak aman dari fitnah dan syahwat maka hukum melihatnya adalah haram.[7]
5. Di depan mahramnya
Yang dimaksud dengan mahram adalah yang haram dinikahi baik dari sisi keturunan (hubungan darah), ikatan pernikahan, ataupun persusuan.
Menurut madzhab Maliki dan Hanbali aurat seorang wanita didepan mahramnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka, kepala, tangan, dan kaki. Jadi, dalam kondisi apapun seorang wanita tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya kecuali yang telah disebutkan diatas, walaupun tidak mengundang syahwat.
Namun Abu Ya’la dari madzhab Hanbali mempunyai pandangan yang berbeda, menurut beliau batasan aurat seorang wanita dengan mahramnya seperti batasan antara laki-laki dengan laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut.[8]
Sedangkan menurut Madzhab Hanafi aurat seorang wanita didepan mahramnya adalah antara pusar dan lutut, punggung dan perut. Namun ketika dirasa aman dari fitnah dan syahwat, madzhab ini tidak membolehkan mahramnya untuk melihat antara pusar dan lutut.
Pendapat ini didasarkan pada penafsiran surat An-Nur, ayat 31: