Menu Tutup

Fikih pada masa Rasulullah SAW

Awal Keislaman

Fase ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-quran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah di Makah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah[1][2].

Terkadang wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Nabiatau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan[3] dua pusaka inilah perundang-undangan[4] islam ditetapkan dan ditentukan.Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi

Fase Mekah

Periode[5] ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul samapai beliau hijrah ke Madinah. Periode ini berlangsung selama 13 tahun.Perundangundangan hukum Islam atau Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah berhala kepada menyembah Allah. Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia  atas dua perkara utama:

  1. Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitabkitab, Rasul,takdir Allah dan hari akhir.
  2. Membentuk akhlak[6] manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.

Fase Madinah

Periode  ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun.Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.Dalam masa inilah umat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Sehingga timbullah keperluasan untuk[1] mengadakan syari‟at dan peraturanperaturan, karena  masyarakat membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu[2] dengan lainnya,  baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.

Pada periode Madinah inilah turun ayat-ayat[3] menerangkan hukum-hukum syar‟iyah dari semua persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadat seperti salat, zakat[4], puasa[5], haji, dan muamalat seperti aturan jual-beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan ketata negaraan. Dengan kata lain, periodeMadinah dapat pula disebut periode revolusi social dan politik. Rekontruksisosial ini ditandai dengan penataan pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinngga menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.[6] Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat-surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa‟, Al-Maidah[7], AlAnfal, At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping megandung ayat-ayat aqidah[8], akhlak, sejarah, dll. Dalam proses perkembangan periode Madinah ini ada tiga aspek syaria‟at yang perlu dijelaskan.

Pertama metode Nabi saw. kedua kerangka hukum syari‟at. Ketiga turunnya syari‟at secara bertahap (periodik). Adapun aspek pertama yaitu metode Nabi saw. dalam menerangkan hukum, Nabi sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, sebagaimana syarat dan rukunnya dan  lain sebagainya.Misalnya ketika Nabi salat dan para sahabat melihat serta menirukannya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.

Kedua, kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyari‟atkan untuk suatu persoalan[9] yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri[10] yang sedang udzur (haid)[4]. Ada juga hukum yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, seperti masalah ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan muamalat.

Ketiga, turunnya[11] syari‟at secara bertahap (periodik). Dalam tahap periodic ini syari‟at terbagi dalam dua hal, yaitu tahpan dalam menetapkan kesatuan hukum islam, seperti salat disyari‟atkan pada malam isra‟ mi‟roj (satu tahun sebelum hijrah),

adzan[12] pada tahun pertama hijrah dan seterusnya.  Yang kedua, tahapan itu tidak sedikit terjadi pada satu perbuatan.Misalnya, salat awalnya diwajibkan dua rakaat saja, kemudian setelah hijrah keMadinah empat rakaat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim[13] bahwa A‟isyah berkata :

”Salat diwajibkan dua rakaat, kemudian Nabi hijrah maka menjadi empat rakaat”.

Sumber Hukum Pada Periode Rasulullah

Dalam kitab at-Tasyri‟ wal Fiqhi Fil Islam Tarikhon wa Manhajan karangan Manna‟ al-Qatthan disebutkan bahwa, sumber Tasyri‟ itu ada dua macam yaitu: Tasyri‟ yang merupakan wahyu[14] Allah secara ma‟na dan lafadz[15], yang disebut Al-Quran ada juga Tasyri‟ yang merupakan wahyu Allah secara ma‟na bukan lafadz, yang disebut AsSunnah.

  • Al-Qur’an

Al-Qur‟an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan[16] atau jawaban terhadap permintaan fatwa.Contoh kasus seperti : Larangan menikahi wanita[17] musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat :

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita Musyrik sebelum mereka beriman”. (Qs.Al-Baqarah : 221)

Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur‟an bersifat  kulli (umum), demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat[18] dhâni yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur‟an adalah tentang bidang alAhwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.

  • As-Sunnah

As-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam

Al-Qur‟an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an. Ada pula Hadist yang memberi hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya[19] telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an.

Penjelasan[20] Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan[21] Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika[22] menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ayat :

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (Qs.An-Nahl : 44)

Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan[23] hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad dengan berpegang kepada syari‟ ajaran[24] Islam dan dengan cara musyawarah[25] bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (Qs. AlAnfal: 67) dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (Qs. At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.

Ijtihad Pada Masa Rasulullah

Pada zaman Rasulullah-pun ternyata Ijtihad itu dilakukan oleh[26] Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan[27] ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri.

Disamping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast[28] besar) yang kemudian berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum.Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk[29] berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh bagaimana cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah”.

Dapat disimpulkan, pada zaman Rasulullah, sumber hukum itu adalah[30] AlQur‟an dan As-Sunnah. Keduanya diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam Hadist dinyatakan : ”Aku tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.

[1] Aiman Al-Husaini, Tahun Pertama Pernikahan, Pustaka Azzam, 2001, H.140

[2] Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, Cv Pustaka Setia, Bandung, 1999, H.84

[3] Amir Said Az-Zibari, Bagaimana Menjadi Ahli Fikih?, Pustaka Azzam, Jakarta,2001,H.129.

[4] Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi, Ikuti Sunnah Tinggalkan Bid’ah, Pustaka Azzam, 2002, H.17

[5] Hassan Muhammad Ayub, Puasa Dan I’tikaf Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, H.2

[6] Abdul Hamid Mahmud Al-Ba‟ly, Ekonomi Zakat, Pt Raja Grafindo Persada, 2006, H.58

[7] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, H.1

[8] Rosihon Anwar Dan Saehudin, Akidah Akhlak, Pustaka Setia Bandung, Bandung, 2016, H.13

[9] Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Suatu Pengantar, Pt Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, H. 51

[10] Ayidah Ahmad Shahal, Daya Tarik Laki-Laki Dimata Wanita, Pustaka Azzam, H.190

[11] Adiwarman A.Karim, Ekonomi Makro Islam, Pt Rajagrafindo Persada, Depok, 2013, H.8

[12] Suhaartina, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Aksara Timur, Makassar, 2018, H.84

[13] Adiwarman A.Karim, Ekonomi Mikro Islam, Pt Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, H.39

[14] Arief Hoetoro, Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malana, 2007, H.209

[15] Nurhikmah Dan Zulfah, Cara Praktis Baca Al-Quran Dengan Taltil, Gunadarma Ilmu, Samata

Gowa, 2016, H.13

[16] Abd. Rahim Arsyad,Cara Cepat Menguasai Bahasa Arab, Lb-H Press, Parepare, H.73 

[17] Memed Humaedillah, Akad Nikah Wanita Hamil Dan Anaknya, Gema Insani, Jakarta, 2006, H.7

[18] Winarmo, Pradigma Baru Pendidikan Pancasila, Bumi Aksara, Jakarta, 2018, H.51

[19] Mamat Supriatna, Bimbingan Dan Konseling Berbasis Kompetensi, Pt Rajagrafindo Persada,

Depok, 2013, H.99

[20] Azhar Arsyat, Dasar-Dasar Penguasaan Bahasa Arab, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, H.84 

[21] Mochamad Nursalim, Pengembangan Profesi Bimbingan Dan Konseling, Erlangga, Jakarta, 2015,

H.153

[22] Pepi Al-Bayqunie, Jejak, Pustaka Mafaza, Kauman Solo, 2015, H. 118

[23] Adiwarman A.Karim, Bank Islam, Pt Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, H.286

[24] Nurrofiah Dan Maman Lukman, Al-Quran Dan Hadis, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta, 2015, H. 112

[25] Yasin Soumena, Membangun Tatana Negara Berdasarkan Ideologi Dan Konstitusi, Samudera Biru, Yogyakarta, 2018, H.16

[26] Amanu Abdul Aziz, Hafal Al-Quran Dalam Menghitung Hari, Hilal Media, Bogor, H.11

[27] Ary Ginanjar Agustian, Esq (Emotional, Spiritual, Quetient), Pt Arga Tilanta, Jakarta, 2016, H.182

[28] Fatihuddin Abul Yasin, Penuntun Shalat Lengkap, Terbit Terang, Surabaya,  H. 17

[29] Asrorun Niam Sholeh, Fikih, Pena Nusantara, Jakarta, 2007, H.17

[30] Dayu Suhardi, Ekonomi Islam, Universitas Muhammadiyah Parepare, Parepare, 2015, H.2

[1] Saiful Hadi El-Sutha, Hidup Makin Susah, Kalau Banyak Yang Hobinya Bohong, Pt Erlangga,

[2] , H.64

[3] Helmi Karim, Fiqh Muamala, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, H.45

[4] Abdurrahman, Komplkasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, H.57

[5] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, Rajawali Press, Jakarta, H.14

[6] Kamil Al-Hayali, Sulosi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, Srigunting, Jakarta,2005, H.4

Sumber: Ilmu Fiqih: Suatu Pengantar Dialektika Konsep Klasik dan Kontemporer/ oleh Agus Muchsin- Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Government Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (JKSG-UMY), 2019.

Baca Juga: